Pagi yang cerah, semangatku tumbuh sering sinar mentari.
Senyum sapa Pak Herman mengawali hari ini. Tentu saja akan lebih manis jika ada
putrinya. Ketika mata mencari letak keindahan itu, malah Bu Ratih yang muncul
di baliknya. Ia tidak seperti biasa, kali ini Bu Ratih memanggilku dengan
begitu serius. Sempat terpikir juga di benak, apakah aku sudah melakukan
kesalahan? Ternyata tidak, ini jauh lebih mengejutkan.
“Nazri, tadi malam, kamu ada dengar suara hantu di atas?”
“Hah? Hantu apaan? Masa ada hantu?”
“Iya, si Eca katanya dengar ada suara hantu di atas,”
“Di atas mana? Lantai berapa?”
“Lantai tiga, suaranya pas di depan kamar kamu,”
“Masa iya, Bu? Saya enggak dengar apa-apa,”
Bu Ratih berpikir sesaat, sepertinya ia cukup menganalisa
pernyataanku. Ternyata benar, ia memang belum puas. Berkali-kali pula Bu Ratih
menanyakan hal yang sama.
“Benar kamu enggak dengar?”
“Iya, Bu. Saya nggak dengar,”
“Sama sekali enggak?”
“Iya, enggak!”
“Yakin?”
“Yakin,”
“Berapa persen?”
“Apaan sih, Bu?”
Lagi-lagi Bu Ratih diam, raut wajahnya tampak sedang
memikirkan sesuatu. Aku yang sebenarnya tidak mengerti sama sekali tentang
hantu yang ditanyakan itu, sedikitnya mulai ikut penasaran. Kembali aku
mengingat, apa yang sudah aku lakukan semalam. Tengah malam, aku memang benar
belum tidur. Beberapa kali ke kamar mandi, dan kembali ke kamar menonton film
sampai subuh. Padahal, sempat juga aku ke kamar depan untuk mengambil sapu di
pintunya, tetapi tidak mendengar suara apapun. Heran, entah hantu apa yang
dimaksud.
“Nazri, saya sudah tanya juga sama Pak Ustad tadi subuh,”
“Terus? Apa katanya?”
“Kata Pak Ustad, itu cuma rekayasa,”
“Rekayasa gimana?”
“Iya, nggak ada. Bohongan,”
“Jadi? Memang benar-benar nggak ada hantunya?”
“Iya, Nazri,”
“Jadi kenapa Ibu tanya lagi sama saya?”
“Untuk meyakinkan saja,”
“Jadi Ibu lebih percaya saya, daripada Pak Ustad?”
“Kan, kamu yang di lantai tiga. Pak Ustad mah, palingan cuma
menebak!”
Aku mulai tertarik, ini kasus hantu harus segera
dituntaskan. Maka, sekarang giliranku yang melakukan olah TKP. Menemui Mbak Eca
dan beberapa penghuni kos lain yang sempat mendengar suara hantu tadi malam.
Tapi berhubungan semua orang juga ada kesibukan masing-masing, jadi aku hanya
bisa mengumpulkan data dari Mbak Eca seorang.
“Mbak Eca! Saudari ada di mana jam delapan?”
“Apaan sih, Nazri! Kamu nggak dengar tadi malam ada suara
hantu?”
“Serius, Mbak? Jam berapa memangnya?”
“Sekitar jam sebelas gitu. Suaranya pas di atas kamar saya.
Kamar yang depan kamar kamu itu, kan, sudah tiga bulan kosong,”
Lagi-lagi aku kembali mengingat, apa yang terjadi jam
sebelas di kamarku. Sepertinya memang aku tidak mendengar apa-apa. Soalnya aku
sedang sibuk mengorek celengan yang terbuat dari keramik menggunakan sangkur.
Suaranya pun lumayan keras, pantaslah aku tidak mendengar suara dari luar. Apalagi
itu celengan sempat aku sodok juga pakai samurai, dan akhirnya pecah setelah tak sengaja terhantam ke dinding. Tidak juga aku mendengar suara apapun ketika menghitung
receh hasil dari celengan itu.
“Mbak, suaranya gimana sih?”
“Suara ketok-ketok gitu, teros gesek-gesek sesuatu di
tembok, dan paling kagetnya saya pas dengar suara seperti kepala orang yang
hantuk ke tembok. Ih, jelas banget, Nazri, saya dengarnya. Pas, itu suara di
depan kamar kamu, lho!”
Seketika aku cengir sendiri, lalu beranjak sembari
menyembunyikan kantung plastik yang berisi pecahan celengan ke dalam baju. Begitu
hendak membuangnya ke tong sampah, Bu Ratih kembali menanyakan hal tentang
suara hantu tersebut.
“Kamu serius enggak dengar? Soalnya si Eca sudah empat malam
berturut dengar suara itu,”
Aku hanya bisa diam sambil menelan ludah.
Bandung, 08 Febuari 2014
2 komentar
cerita manis!
ReplyDeleteending gantung gini yang bikin bagus..
Hahaha,
Deletenazri lagi kumpulin cerita tentang kosan nazri bang.
sengaja nazri pajang ke blog beberapa biar nggak lupa.
makanya langsung ke inti cerita nggak pake cendol-cendol.
:-d
ngomong-ngomong itu cerita nyata lho bang, (m)