Hasan Tiro: Sang Raja dalam Pengasingan


Di sebuah negeri yang mengaku merdeka, di ujung barat tanah tumpah darah, lahir seorang anak bangsawan yang kelak menulis takdirnya sendiri dengan darah, tinta, dan peluru. Namanya Hasan Muhammad di Tiro. Bukan tokoh rekaan. Bukan pahlawan yang diarak di jalan protokol setiap 17 Agustus. Tapi barangkali—justru dialah yang paling layak diberi tempat di panggung sejarah.

Hasan Tiro lahir dari darah biru Aceh, dari keturunan ulama dan pejuang. Di nadinya mengalir darah Teuku Cik di Tiro, pahlawan yang dilawan Belanda dengan artileri dan tipu muslihat. Namun, sejarah negeri ini sering kali pelupa. Yang diperingati adalah mereka yang tunduk. Yang dibisikkan ke telinga anak-anak sekolah hanyalah mereka yang patuh. Sementara tokoh-tokoh yang bertanya terlalu banyak, yang mencintai bangsanya dengan logika dan air mata, justru dikutuk sebagai pengkhianat.

Hasan muda adalah pemikir. Ia kuliah di Amerika Serikat, menyerap filsafat dan hukum internasional seperti tanah Aceh menyerap darah syuhada. Ia bukan hanya ingin mengubah dunia—ia ingin menyelamatkan negerinya dari menjadi catatan kaki di buku sejarah orang lain. Ketika ia kembali ke Indonesia, bukan tepuk tangan yang ia terima, melainkan pengkhianatan terhadap idealisme yang ia junjung.

Ia pernah percaya pada republik ini. Pernah menulis untuk mendukung integrasi Aceh ke dalam bingkai NKRI. Tapi ia juga saksi—bahwa cinta yang tidak dibalas, lama-lama berubah menjadi luka. Dan luka, jika dibiarkan membusuk, akan melahirkan perlawanan.

Di tahun 1976, setelah bertahun-tahun menyaksikan janji-janji yang tak ditepati dan tanahnya dikeruk tanpa berkah untuk rakyatnya, Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka. Sebuah langkah yang dianggap gila oleh segelintir birokrat di ibu kota. Tapi bukankah gila itu relatif? Seorang idealis yang menuntut keadilan seringkali terlihat gila di mata mereka yang sudah lama nyaman dalam ketidakadilan.

Ia membangun perjuangan bukan dari peluru semata, tapi dari narasi. Ia menulis, berbicara, memproklamasikan, dan memaksa dunia menoleh ke Aceh—tanah yang sebelumnya hanya dikenal lewat kopi dan cerita daun ganja. Ia tak sekadar melawan negara, tapi melawan lupa. Bahwa Aceh adalah negeri yang pernah merdeka. Bahwa perlawanan bukan sekadar tindakan, tapi warisan darah dan marwah.

Sementara di ibu kota, para pemimpin sibuk menghitung cadangan minyak dan devisa ekspor, Hasan Tiro menghitung jumlah pemuda yang dipaksa diam oleh moncong senapan. Ia tahu, melawan kekuasaan berarti hidup dalam pelarian. Tapi lebih baik jadi pelarian dalam kebenaran, daripada jadi pejabat dalam kebohongan.

Hasan Tiro tak mati di medan perang. Tapi ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di pengasingan. Di negeri orang, ia terus menulis, terus bersuara, meski yang menyambutnya hanya keheningan. Sejarah memang kejam pada mereka yang jujur terlalu dini.

Dan ironisnya, negeri ini baru mengakui keberadaannya saat tubuhnya sudah renta, dan suara perangnya memudar. Seperti biasa, negara sering datang terlambat pada orang-orang yang benar.

Negara Bernama Janji

Republik ini, sejak awal berdirinya, dibangun di atas janji. Janji kemerdekaan, janji keadilan sosial, janji kesetaraan bagi semua rakyat dari Sabang sampai Merauke. Tapi sebagaimana anak-anak yang terbiasa dibohongi, Aceh mulai menyadari: tak semua janji dilahirkan untuk ditepati.

Hasan Tiro, dalam renungannya, melihat sesuatu yang tak dilihat oleh kebanyakan orang: bahwa Aceh bukan saja dikhianati, tapi dilupakan. Mereka yang mengirim emas ke istana Proklamasi di Jakarta, kini harus antre untuk menikmati hasil buminya sendiri. Mereka yang dahulu berdarah-darah mengusir penjajah, kini dijaga ketat oleh pasukan dari sesama anak bangsa. Ironi yang getir, tapi nyata.

Pemerintah pusat menyebutnya makar. Pemberontakan. Perlawanan terhadap negara. Tapi bukankah negara juga pernah melakukan hal yang sama terhadap Belanda? Apakah yang membuat beda antara proklamasi dengan deklarasi Hasan Tiro, selain siapa yang lebih dulu menang di mata sejarah?

Hasan Tiro tahu, melawan sistem berarti menantang dewa-dewa kekuasaan yang bertakhta di gedung-gedung megah. Ia tahu, seragam militer lebih mudah dikirim daripada keadilan. Ia tahu, satu kata "merdeka" dari bibir rakyat Aceh bisa membuat jantung para pejabat berdetak lebih cepat daripada suara beduk sahur.

Tapi inilah prinsip: ia lebih memilih berdiri sendiri dengan harga diri, daripada duduk bersama para penguasa yang menggadaikan kehormatan rakyatnya demi kursi. Ia lebih memilih diburu, daripada dijinakkan. Karena Hasan Tiro paham betul—negara yang membungkam suara-suara yang berbeda bukanlah negara, melainkan mesin.

Aceh tidak meminta lebih. Hanya ingin diingat bahwa ia pernah berjasa. Ingin diperlakukan bukan sebagai objek eksploitasi, tapi sebagai subjek dari cerita panjang bangsa ini. Namun, alih-alih dialog, yang dikirim adalah operasi militer. Alih-alih simpati, yang datang adalah stempel pengkhianat.

Hasan Tiro bukan hanya sedang melawan rezim, ia sedang memperjuangkan konsep—bahwa sebuah bangsa tidak dilahirkan oleh peta, tapi oleh rasa saling percaya. Dan bila rasa itu hilang, maka tak ada lagi yang menyatukan kecuali rasa takut.

Negara terus bicara tentang NKRI harga mati, tapi melupakan bahwa harga diri rakyat pun tak boleh mati. Dalam hati kecil rakyat Aceh, di luar propaganda dan siaran berita resmi, muncul bisikan yang tak pernah padam: “Kenapa kita harus tunduk, jika yang kita terima hanya luka?”

Dan dari luka itu, lahirlah GAM. Gerakan Aceh Merdeka. Bukan gerakan yang haus kekuasaan, tapi gerakan yang lahir dari rasa muak. Dari tanah yang terlalu sering direbut, dari suara yang terlalu lama dibungkam, dari sejarah yang terlalu banyak dihapus.

Hasan Tiro tak butuh pengakuan negara. Ia butuh agar rakyat Aceh mengangkat wajahnya kembali dengan bangga. Sebab bagi Hasan Tiro, tanah kelahiran bukan sekadar tempat dilahirkan—ia adalah tanah di mana manusia harus bisa hidup dengan martabat.

Sang Raja dalam Pengasingan

Di negeri asing yang tak mengenal rencong, syair-syair perang, atau aroma kopi dari dataran Gayo, Hasan Tiro menua dalam pengasingan. Tapi pengasingan itu bukan sebuah pelarian. Ia bukan buronan, tapi burung merpati yang terbang tinggi karena sangkarnya dirusak oleh tangan bangsanya sendiri.

Swedia menjadi rumahnya, bukan karena ia mencintai salju lebih dari pasir Aceh, tapi karena tanah airnya tak lagi sanggup membedakan antara cinta dan pemberontakan. Negeri ini lebih senang mendengar kabar ekspor gas alam daripada jeritan ibu-ibu yang kehilangan anak karena “salah waktu di jalan.” Ironi, sekali lagi. Tapi seperti biasa: negeri ini sudah terbiasa dengan ironi.

Dari kejauhan, Hasan Tiro menyusun ulang sejarah yang berusaha dihapus. Ia menulis, berkirim pesan, menyusun strategi, bukan untuk kekuasaan, tapi untuk harga diri. Ia tahu, tak semua perjuangan harus dilakukan dengan senjata. Terkadang, sebuah tulisan bisa lebih tajam dari peluru. Dan terkadang, diam dari seorang tokoh lebih keras dari pidato pejabat.

Dalam pengasingannya, ia menjadi legenda. Nama Hasan Tiro disebut dalam bisik-bisik di warung kopi, dalam doa-doa di surau kecil, dalam lagu perjuangan anak-anak muda yang mulai lelah dengan sistem yang menginjak leher mereka sendiri.

Ia tidak lagi hanya manusia. Ia menjadi simbol. Menjelma menjadi harapan yang tak bisa dibunuh, karena harapan tak memiliki tubuh untuk ditembak.

Negara, tentu saja, terus memburunya. Setidaknya di atas kertas. Tapi mereka lupa satu hal: jika tubuh bisa ditangkap, pemikiran tidak. Jika rumah bisa dibakar, kenangan tidak. Jika suara bisa dibungkam, semangat tidak.

Dan justru dalam diam dan jarak itulah, Hasan Tiro tumbuh menjadi sosok yang tak tergantikan. Seperti gunung yang tak bisa didaki oleh mereka yang hanya ingin berfoto, Hasan Tiro adalah lambang keteguhan yang tak bisa dibeli oleh gelar, pangkat, atau jabatan.

Beberapa kali, pintu damai terbuka setengah hati. Beberapa orang mencoba membujuknya untuk “pulang,” tapi dengan syarat yang ditulis dengan tinta kekuasaan. Ia menolak. Karena ia tahu: pulang tanpa kehormatan, hanyalah bentuk lain dari pengasingan.

Banyak yang menyerah, berganti baju, berpihak pada kursi yang lebih empuk. Tapi Hasan Tiro tetap berdiri. Sendiri. Kokoh. Di antara waktu yang menggerogoti tubuhnya, dan kerinduan yang menjerat pikirannya, ia tetap memilih jalan sepi yang ia yakini benar.

Karena bagi Hasan Tiro, lebih baik hidup dalam pengasingan dengan kepala tegak, daripada pulang dan menunduk di hadapan sejarah yang salah arah.

Damai yang Datang Terlambat

Tahun 2004. Laut menggulung bumi. Gelombang raksasa mencabut nyawa tanpa membedakan suku, seragam, atau agama. Banda Aceh—kota perjuangan, kota luka—runtuh dalam hitungan menit. Tidak oleh peluru, tapi oleh air bah yang datang tanpa ampun.

Dan ironisnya, di saat negara tak pernah berhasil menundukkan Aceh dengan operasi militer, justru air lautlah yang memaksa semua pihak untuk duduk dalam keheningan. Sebuah damai yang tak datang dari lobi politik, tapi dari kematian massal yang membuat manusia akhirnya sadar: tak ada yang lebih hina dari perang saudara yang dilanggengkan demi ego kekuasaan.

Dari pengasingannya yang panjang, Hasan Tiro mendengar kabar itu. Aceh hancur. Tapi di balik reruntuhan itu, ada pintu yang mulai terbuka. Dunia internasional menekan, rakyat berdoa, dan pemerintah—akhirnya—mulai belajar mendengar.

Tahun 2005. Perjanjian Helsinki. Pemerintah Republik Indonesia dan GAM duduk di meja yang sama. Dan untuk pertama kalinya, kata “Aceh” disebut bukan dalam nada kecurigaan, tapi dalam nuansa rekonsiliasi. Tidak semua luka bisa sembuh, tidak semua nyawa bisa dikembalikan. Tapi setidaknya, untuk pertama kalinya, suara rakyat Aceh tidak dipaksa diam oleh laras senapan.

Hasan Tiro kembali. Dengan tubuh renta. Napas yang pendek. Tapi dengan kepala tetap tegak. Ia tidak kembali sebagai tawanan, apalagi sebagai pecundang. Ia kembali sebagai tokoh bangsa yang disambut dengan air mata. Bukan hanya oleh rakyat Aceh, tapi bahkan oleh negara yang dahulu menolaknya hidup.

Ia tidak datang membawa dendam. Tapi juga tidak menanggalkan idealismenya. Ia tahu: damai bukan berarti lupa. Tapi damai adalah kesepakatan untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Ia tak menuntut balas, tapi mengajarkan satu pelajaran mahal: bahwa perlawanan bukan untuk membenci, tapi untuk menyadarkan.

Dan di sinilah tragisnya sejarah: kadang kebenaran hanya diakui ketika sang pembawa kebenaran sudah terlalu lemah untuk memanfaatkannya. Hasan Tiro, yang dahulu dicap separatis, kini diberi penghormatan. Seperti biasa, negara ini memang senang memuliakan para pejuang—asal mereka sudah terlalu tua untuk melawan.

Ia meninggal tak lama kemudian. Dimakamkan di tanah kelahirannya. Di Aceh yang kini lebih damai, walau bekas luka masih menghitam. Tapi setidaknya, ia pulang bukan sebagai penjahat negara, melainkan sebagai Bapak Bangsa bagi rakyatnya sendiri.

Warisan yang Ditinggalkan

Hasan Muhammad di Tiro telah tiada. Tapi ia tak pernah benar-benar pergi.

Ia meninggalkan lebih dari sekadar sejarah dan jejak kaki di tanah yang dulu ia perjuangkan. Ia meninggalkan sebuah cara pandang—bahwa bangsa bukan ditentukan oleh garis di peta, tapi oleh harga diri dan kesadaran kolektif. Ia mengajarkan bahwa mencintai tanah kelahiran bukan berarti membenci negara, tapi mengingatkan negara ketika ia mulai lupa siapa pemilik sejatinya: rakyat.

Di Aceh, nama Hasan Tiro bukan sekadar sosok masa lalu. Ia adalah bayang-bayang yang membisikkan kepada generasi muda, bahwa jangan sekali-kali menyerahkan hakmu atas martabat hanya demi segenggam stabilitas. Ia adalah wajah dari perlawanan yang santun, keras kepala dalam prinsip, tapi lembut dalam niat. Ia tak memaksa anak-anak muda untuk memikul senjata, tapi ia mewariskan keberanian untuk bersuara.

Kini Aceh memang lebih tenang. Tapi ketenangan itu dibayar dengan mahal. Dengan darah. Dengan kehilangan. Dengan tahun-tahun panjang di mana suara rakyat lebih sering dipukul daripada dipeluk.

Warisan Hasan Tiro bukan untuk mengulang luka. Tapi untuk menjaga agar luka itu tak dibuka kembali. Ia ingin agar rakyat Aceh mengingat: bahwa mereka pernah berdiri, ketika seluruh dunia memaksa mereka untuk duduk. Bahwa mereka pernah bicara, ketika seluruh dunia menyuruh mereka diam.

Ia tidak pernah menjadi presiden. Tidak pernah diabadikan dalam nama jalan besar. Tidak dimuat di buku pelajaran resmi. Tapi di hati rakyatnya—ia adalah pemimpin sejati. Bukan karena kekuasaan, tapi karena keteguhan.

Doa untuk Sang Pejuang

Untuk Hasan Muhammad di Tiro, yang telah kembali ke pangkuan Ilahi…

Semoga seluruh langkah perjuanganmu menjadi saksi di hadapan Tuhan,
Bahwa engkau pernah berdiri untuk kebenaran,
Bahwa engkau mencintai bangsamu dengan jujur dan berani,
Bahwa engkau memilih jalan sunyi daripada hidup dalam dusta.

Ya Allah, lapangkanlah kuburnya.
Terangi jalannya dengan cahaya keimanan.
Tempatkan ia bersama para syuhada dan orang-orang yang Engkau ridai.
Dan jadikan setiap tetes air mata rakyat yang pernah kau bela,
Sebagai syafaat di hari akhir.

Amin… ya Rabbal ‘alamin.

Posting Komentar

0 Komentar