Di tanah yang subur ini, segala sesuatu tumbuh dengan berlimpah. Kelapa jatuh, singkong mencuat dari tanah, dan di antara ilalang, tumbuh pula sehelai daun yang dahulu dianggap berkah, kini dicap haram, liar, dan kriminal. Ia adalah ganja, atau dalam bahasa mereka: "cannabis yang pernah diseduh bersama doa."
Indonesia
tidak mengenal ganja dari Amerika. Kita mengenalnya jauh lebih
awal—sejak zaman kerajaan dan perdagangan kuno. Ia masuk bersama gelombang
rempah-rempah, dibawa pedagang Timur Tengah dan India, dan kemudian menyatu
dengan kehidupan rakyat di beberapa daerah.
Di Aceh, ia bukan barang aneh. Ia tumbuh liar
seperti semak. Daunnya digunakan untuk campuran masakan, untuk menghangatkan
tubuh, atau sekadar ditanam di pekarangan. Tak ada kekhawatiran, tak ada
larangan. Ia adalah daun yang tumbuh
seperti daun lainnya—tak lebih jahat dari sereh atau kunyit.
Tapi zaman berubah. Penjajahan datang, lalu hukum diganti. Belanda, yang
dahulu membiarkan ganja seperti membiarkan kopi, mulai menaruh syak wasangka.
Apalagi saat gelombang regulasi internasional dari Barat mulai menyentuh Asia.
Tahun 1927, mulai muncul pembatasan. Tahun
1930-an, mulai ada pengawasan. Dan setelah kemerdekaan, Indonesia mewarisi
bukan hanya kemerdekaan, tapi juga ketakutan
yang diwariskan.
Era Orde
Baru adalah paku peti mati ganja. Dengan Undang-Undang Narkotika,
ganja disamakan dengan heroin dan kokain. Padahal ganja bukan obat keras—bukan
juga racun. Ia tanaman. Tapi ia dipenjara lebih dari manusia.
Ironisnya, di saat dunia mulai membuka
mata—menerima ganja medis, meriset potensi terapinya—Indonesia masih menaruhnya
di daftar hitam.
Pasien
epilepsi dilarang berharap. Petani kecil dihukum lebih lama dari koruptor. Daun
yang pernah didoakan, kini dianggap iblis.
Di sisi lain, Aceh (pernah) tetap menyimpannya
diam-diam. Bukan untuk bisnis, bukan untuk pesta. Tapi karena bagi sebagian
orang tua di sana, ganja adalah bagian
dari dapur, dari ladang, dari warisan.
Tapi apakah kita akan terus hidup dalam
ketakutan yang dibuat oleh sejarah asing?
Apakah satu-satunya cara hidup berdampingan dengan ganja adalah penjara?
Atau kita akan mulai bertanya:
“Siapa sebenarnya yang harus diawasi:
daunnya, atau cara pandang kita terhadapnya?”
Ganja adalah anugerah yang kini didiskriminasi.
Daun yang pernah diseduh dalam kuah, kini diringkus dalam pasal.
Dan dalam sunyi, ia masih tumbuh… tanpa suara, tanpa perlawanan, tapi penuh
harapan bahwa suatu hari, ia bisa kembali menjadi bagian dari cerita yang
jujur.
0 Komentar