Debu Catatan

Di tanah yang subur ini, segala sesuatu tumbuh dengan berlimpah. Kelapa jatuh, singkong mencuat dari tanah, dan di anta…

Di sebuah negeri yang mengaku merdeka, di ujung barat tanah tumpah darah, lahir seorang anak bangsawan yang kelak menul…

Di jantung hutan Aceh yang pekat dan liar, sebuah suara memecah malam. Bukan suara senapan atau jerit luka, melainkan s…

Kita membaca terlalu banyak hari ini. Terlalu banyak berita, terlalu banyak opini, terlalu banyak notifikasi. Kita memb…

Aku menulis bukan karena aku merasa masih muda, tapi justru karena aku sadar aku sudah tidak muda lagi . Di masa keti…

Halo, kamu. Ya, kamu — yang entah bagaimana masih tersesat ke sudut sunyi blog ini, atau mungkin hanya sedang menca…

Lagu Letto, Rossa, Geisha, dan entah apalagi berulangkali terputar. Aku enggan menggantinya. Entahlah, rasanya sulit…

Seharusnya pagi datang lebih cepat. Kondisi yang tidak terlalu membuatku aktif. Sejak di kantor berita dulu, bahkan…

Biarkan aku melihat sudut-sudut kota yang dinistakan. Mencium aroma angur dari botol bekas, atau menyaksikan wanita …

Adakah makna dari sebuah pengharapan? Di bawah kolong langit, atau di atas segala semesta. Saat doktrin di otakku …

Kembali aku mengenang. Siapa diri ini, dan ke mana jiwa ini harus mengalir? Ada artinya, aku lagi-lagi tidak pernah …

Dua hari lalu, aku dikejutkan berita kematian. Kiki meninggal dunia tiga hari berselang Idul Adha. Teman yang selalu…

Oh, ada apa dengan dunia? Aku kehilangan jam tidurku untuk kesekian pagi. Menunggu kesejukan dari segala kabar yang …

Aku tidak tahu. Kekosongan itu mudah muncul membunuh mimpi-mimpiku. Harapan yang telah aku bangun dengan kenyataan, …

Berulangkali terlintas, menghakimi hidup di ruang kosong ini. Tanpa kepercayaan apapun, bahkan kepada diriku sendiri…

Dari seberang, aku menatap perahu di ujung dermaga danau. Bersiap akan berlayar, tanpa memberi lambaian tangan. Aku …