Aku adalah anak yang
lahir dan tumbuh di tanah yang dulu disebut Serambi Mekkah. Sejak kecil, cerita
tentang kejayaan Kesultanan Aceh, tentang pahlawan-pahlawan besar, tentang
relasi diplomatik dengan Turki Utsmani dan tentang rakyat yang berani melawan penjajahan—semua
itu bukan sekadar dongeng, melainkan bagian dari darah dan napas yang mengalir
dalam generasi kami. Tapi di sisi lain, aku juga dibesarkan dalam atmosfer yang
penuh luka, kesedihan, dan kehilangan. Aku menyaksikan sendiri bagaimana tanah
yang begitu kaya raya justru melahirkan begitu banyak anak miskin, kehilangan
arah, dan terasing di negeri sendiri.
Aceh pernah menjadi
kerajaan besar, berdiri sendiri sebagai entitas berdaulat dengan syariat Islam
sebagai dasar kehidupan. Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Aceh
menyambut dengan semangat ukhuwah Islamiyah. Rakyat kami menyumbangkan emas untuk
republik muda itu, bahkan menjadi basis pertahanan ketika pemerintah pusat
hampir lumpuh di awal kemerdekaan. Tapi apa yang kami dapat sebagai balasan?
Janji-janji otonomi yang tak ditepati, penghapusan status daerah istimewa,
serta pengabaian terhadap nilai-nilai yang kami junjung tinggi.
Pada tahun 1976,
lahirlah Gerakan Aceh Merdeka. Sebagian orang di luar Aceh menyebutnya
pemberontak, separatis, bahkan teroris. Tapi mereka lupa menanyakan: mengapa
gerakan itu lahir? Apa yang membuat ribuan anak muda mengambil senjata? Apa
yang membuat seorang terpelajar seperti Hasan di Tiro rela meninggalkan
kenyamanan hidup di luar negeri demi kembali ke hutan dan memulai perjuangan
yang berat? Jawabannya satu: karena keadilan tidak pernah benar-benar hadir.
Karena Aceh dieksploitasi. Gas di perut bumi Lhokseumawe menjadi sumber
kekayaan negara, tapi kami hanya mencium aromanya dari jauh. Sementara itu,
militer masuk desa, orang hilang, mayat ditemukan di sungai, dan trauma
mengendap dalam keluarga-keluarga kami selama puluhan tahun.
Lalu datanglah tsunami
2004, menyapu segalanya. Bencana itu menghancurkan tubuh kami, tapi justru
menyatukan dua tangan yang selama ini saling meninju. Perjanjian damai di
Helsinki membawa harapan baru. Otonomi khusus dijanjikan, syariat ditegakkan,
dan partai lokal diperbolehkan berdiri. Kami bersyukur, kami ingin percaya
bahwa kali ini pemerintah pusat benar-benar mendengar. Tapi waktu berlalu. Hari
ini, aku bertanya-tanya: benarkah Aceh seakan-akan merdeka seperti yang dijanjikan
dalam kertas-kertas perjanjian itu?
Banyak hal berubah,
tapi banyak juga yang tetap sama. Kekuasaan kadang berganti wajah tapi memakai
topeng yang serupa. Kami punya bendera sendiri, tapi tak diakui secara resmi.
Kami punya pemerintah lokal, tapi keputusan besar masih sering ditentukan oleh
Jakarta. Otonomi itu tampak seperti ruang sempit dengan tembok transparan—kami
bebas melangkah, tapi selalu terbentur batas yang tak terlihat. Lebih
menyakitkan lagi, sebagian pemimpin kami sendiri lupa bahwa mereka pernah lahir
dari rahim perjuangan. Mereka lebih sibuk menjaga kursi daripada menjaga
amanah.
Aku tidak ingin menghasut, tidak ingin mengajak siapa pun mengangkat senjata. Tapi aku ingin kita jujur. Merdeka itu bukan sekadar tak ada perang. Merdeka itu bukan sekadar nama dalam undang-undang. Merdeka berarti kami bisa hidup layak, bicara tanpa takut, menyampaikan pendapat tanpa dicap makar, dan melihat kekayaan kami kembali ke tangan rakyat kami sendiri. Padahal kita sekarang adalah bagian dari republik yang sudah 80 tahun mengaku merdeka.
Sebagai anak Aceh, aku
tidak menyesal jika disebut telah terpapar propaganda sejak kecil. Karena yang
disebut propaganda itu bagiku adalah cermin realita yang selama ini enggan
diakui banyak orang. Aku menulis ini bukan untuk menggugat negara, tapi untuk
menggugat keadilan yang masih belum sepenuhnya turun di tanah kami. Aku menulis
karena aku ingin anak-anakku kelak tahu bahwa kami pernah punya harga diri, dan
bahwa sejarah kami lebih panjang dari usia republik ini.
0 Komentar