Tan Malaka — Lelaki yang Dibunuh Dua Kali

Tan Malaka — Lelaki yang Dibunuh Dua Kali


Ia lahir bukan dari panggung kekuasaan,

tapi dari lembar-lembar pemikiran yang tajam melebihi bayonet.
Tan Malaka.
Nama yang terucap seperti bisikan,
disebut setengah takut, setengah lupa.

Bukan karena ia tak penting.
Tapi karena ia terlalu berbahaya bagi siapa pun yang ingin sejarah tetap nyaman.

Ia melintasi batas bangsa, menulis di pengasingan,
hidup dari satu paspor palsu ke paspor lain,
menyusun gagasan tentang republik saat kata “merdeka”
masih terdengar seperti khayalan bagi banyak orang.

Sementara tokoh lain merumuskan kemerdekaan di ruang sidang,
ia merumuskan revolusi di jalanan asing,
di penjara Belanda,
di balik buku-buku yang dijadikan pelindung tubuh dan jiwa.

Madilog.
Materialisme, Dialektika, dan Logika.
Kitab yang lahir bukan dari kampus-kampus tenar,
melainkan dari pergulatan seorang diri, melawan tirani dan kejumudan.

Tapi sejarah tidak suka orang yang berpikir terlalu keras.
Bangsa ini, sayangnya, lebih senang pada cerita yang rapi dan nyaman.
Dan Tan Malaka tidak pernah rapi.
Ia seperti badai: mengganggu, menggugah, menggetarkan.

Lalu datanglah peluru itu—
bukan dari musuh,
tapi dari bangsa yang katanya ia bela sampai akhir hayat.
Tan Malaka ditembak mati, tanpa pengadilan,
tanpa nisan, tanpa pengakuan.

Dan lebih kejam dari kematiannya,
adalah penghapusannya dari buku pelajaran,
dari podium upacara,
dari ingatan murid-murid sekolah yang hanya tahu
Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh yang fotonya tak mengancam narasi resmi.

Tan Malaka dibunuh dua kali.
Sekali oleh peluru.
Sekali lagi oleh lupa.

Tapi sejarah tak bisa dibungkam selamanya.
Dari kubur yang tak bertanda, suaranya masih menyusup ke kepala yang gelisah:
tentang kebebasan, tentang keadilan,
tentang bangsa yang seharusnya lebih dari sekadar merdeka di atas kertas.

Ia tak punya patung.
Tapi ia punya gagasan.
Dan gagasan tak pernah bisa dibunuh.


Madiun, Juni, 2025

Posting Komentar

0 Komentar