Di sebuah
ujung negeri yang pernah harum namanya sampai ke Turki dan Arab, hiduplah
sebuah tanah tua yang mulai pikun oleh derita. Ia pernah jadi ratu di timur
Selat Malaka, kini hanya menjadi janda tua yang dicandai para pejabat dan
diraba-raba kekayaannya oleh tangan-tangan asing yang mengaku kerabat.
Pernah suatu
hari, empat anak pulau hampir dirampas dari pangkuannya. Diculik diam-diam,
dicantumkan di kartu keluarga tetangga. Tapi ketika semua orang ribut dan
menunjuk wajah pelaku, sang pencuri malah berkata, “Oh, maaf, salah tulis.” Dan
si ibu tua itu—tanah Aceh itu—malah tersenyum getir dan mengucap terima kasih.
Terima kasih karena tidak jadi dirampok. Terima kasih karena tidak kehilangan
apa yang memang sudah miliknya sejak dulu. Betapa rendah hati negeri ini. Atau
mungkin sudah terlalu sering dipukul, hingga lupa cara marah?
Di atas tanah
yang diguyur hujan tahunan dan terpanggang panas minyak bumi, para pemuda menua
sebelum waktunya. Lulusan sekolah berjejal, ijazah berserakan, tapi lowongan
kerja seperti hantu: banyak dibicarakan, tapi tak pernah benar-benar ada.
Sementara itu, pemilik-pemilik perusahaan datang dari luar, dengan bahasa yang
tak dikenal oleh tanah ini, tapi mereka yang memegang kunci, dan anak-anak Aceh
hanya jadi satpam di ladang sendiri.
Kata mereka,
Aceh ini kaya. Tapi siapa yang kaya? Kami menatap ladang gas seperti menatap
bulan di langit. Terang, tapi tak bisa dipetik. Kami hanya mendengar cerita
bahwa bumi kami penuh emas dan minyak, tapi di rumah kami, nasi pun harus
dicicil dengan utang koperasi.
Sekolah-sekolah
berdiri, tapi banyak tak menjawab soal hidup. Yang pintar pergi merantau, yang
tertinggal menganggur. Dan setiap kali ada angka statistik yang menyebut
"penurunan kemiskinan", kami terheran—entah kemiskinan siapa yang
dimaksud, karena di kampung kami, masih banyak yang makan sehari sekali.
Mereka bilang
Aceh sudah damai. Tapi damai yang seperti apa? Seperti bunga plastik di meja
makan: cantik, tidak bertengkar, tapi tak punya aroma. Tanpa sengketa bukan
berarti tanpa luka. Kami masih disuruh diam ketika bertanya, masih disindir
separatis ketika bicara. Padahal yang kami minta hanya satu: jangan rampas masa
depan kami, seperti kalian hampir rampas pulau-pulau itu.
Aceh ini
bukan anak kecil yang harus bersyukur karena tidak dipukul hari ini. Aceh ini
bukan pengemis yang harus mencium tangan setelah dikembalikan sepotong roti
yang memang miliknya sejak awal. Kami adalah bangsa yang pernah mengirim kapal
bantuan ke negeri tetangga, pernah mengirim emas untuk republik muda. Tapi
sekarang kami bahkan kesulitan membeli seragam sekolah.
Terkadang,
aku membayangkan Aceh seperti rumah tua yang dulu megah, tapi kini tinggal
puing nostalgia. Di dindingnya tergantung foto-foto hitam putih, sisa-sisa
kejayaan, sementara ruang tamunya dipenuhi tamu tak diundang yang mengatur isi
lemari dan mengubah letak sajadah.
Di luar,
anak-anak muda berdiri di depan pintu, mengetuk-ngetuk sambil membawa ijazah,
proposal, dan semangat. Tapi pintu itu tak kunjung dibuka. Mereka menunggu,
sampai hari berubah gelap. Lalu mereka pulang dengan kepala tertunduk, atau
pergi jauh—ke kota, ke negeri orang, atau ke tempat yang lebih sunyi.
Orang bilang,
kami keras kepala. Tapi siapa yang tidak keras jika setiap kali bicara, dituduh
menyimpan dendam? Siapa yang tak marah jika hak sendiri dianggap pemberian?
Kami tidak minta lebih. Kami hanya ingin yang memang milik kami. Tapi di negeri
ini, meminta hak sering kali dianggap ancaman. Dan bersuara dianggap makar.
Kami juga
punya sekolah, kampus, dan seragam. Tapi banyak yang mengajar hanya demi gaji,
dan banyak yang belajar hanya demi gelar. Ilmu tak turun ke tanah. Ia
mengambang di langit birokrasi dan terjebak di rak-rak prestise. Sementara itu,
petani kami masih bingung menentukan harga gabah, dan nelayan kami masih
berdamai dengan laut tanpa alat.
Jika Aceh
adalah ladang, maka kami adalah buruh tanpa upah. Jika Aceh adalah panggung,
maka kami hanya figuran yang diberi tepuk tangan palsu. Dan jika Aceh adalah
sejarah, maka kami sedang hidup di catatan kaki yang nyaris dilupakan.
Kami diberi
otonomi, tapi dibatasi. Diberi kuasa, tapi ditonton. Diberi hak bicara, tapi
harus disaring. Diberi harapan, tapi dikawal. Seolah-olah kami ini anak nakal
yang harus diawasi setiap geraknya. Padahal kami hanya ingin berdiri, bukan
melawan. Ingin hidup, bukan memberontak.
Jadi jika
suatu hari kami bersyukur karena pulau kami tidak dicuri, itu bukan karena kami
lemah. Tapi karena kami sudah terlalu sering kehilangan, hingga keberadaan pun
terasa seperti hadiah. Kami bukan peminta-minta. Kami hanya terlalu sering
dijarah, sampai lupa rasanya marah.
Aceh ini
seperti perempuan tua yang dipinang saat muda karena kecantikannya, lalu
ditinggalkan setelah habis manisnya. Kini ia hidup di rumah tua, memandangi
langit yang sama, tapi tanpa pegangan. Dan orang-orang berkata,
"Bersabarlah. Toh kamu masih diberi atap."
Padahal atap
itu retak, dan dindingnya bolong. Dan setiap kali hujan turun, yang basah bukan
hanya lantai, tapi juga harga diri.
Aku tidak
menulis ini karena benci. Tidak pula karena ingin memecah belah atau membakar
bara yang sudah lama padam. Aku hanya ingin mengingatkan: bahwa luka yang tidak
dibicarakan akan membusuk, dan suara yang dibungkam akan tumbuh menjadi gemuruh
dalam diam.
Aceh tidak
butuh dikasihani. Aceh hanya ingin didengar. Kami tidak meminta lebih dari hak
kami. Tidak pula menuntut lebih dari keadilan yang dijanjikan. Tapi ketika
tanah kami hendak diambil lalu dikembalikan, dan kami disuruh berterima kasih
atas kebaikan yang memang seharusnya, itu bukanlah keadilan. Itu penghiburan
palsu.
Kami ingin
merdeka dalam makna yang sebenarnya—bukan dari negara, tapi dari ketimpangan
dan ketidakpedulian. Kami ingin berdiri di atas tanah kami sendiri, tanpa harus
menunduk untuk mempertahankannya.
Dan jika
tulisan ini sampai ke meja siapa pun yang sedang memegang kendali, ketahuilah:
kami tidak sedang mengancam. Kami sedang bersaksi. Bahwa ada yang salah. Bahwa
ada yang masih harus diperbaiki. Bahwa Aceh bukan hanya lembar sejarah. Ia
masih hidup, dan masih menunggu untuk benar-benar diakui, dihargai, dan
diperlakukan sebagai bagian yang setara.
Karena tanah
yang selalu dipaksa berterima kasih atas haknya sendiri, lama-lama akan
kehilangan rasa percaya. Dan ketika kepercayaan itu hilang, sejarah akan
mengulang dirinya.
0 Komentar