Aceh tidak pernah sekadar menjadi wilayah. Ia adalah jiwa yang menyala—terlalu agung untuk dijadikan pelengkap peta.
Tahun 1945, ketika republik masih gamang berdiri, Aceh datang sebagai saudara
yang tak diundang tapi setia. Ulama dan rakyatnya menyumbangkan emas, kain, dan
doa agar republik muda itu tak tumbang. Di antara mereka, mungkin kakekku
berdiri, diam, membawa karung logam dan harap.
Namun, seperti tamu yang diabaikan setelah pesta,
Aceh dilupakan. Janji-janji tentang syariat dan keistimewaan ditelan kekuasaan
pusat. Ia dilebur paksa ke dalam Sumatera Utara, mencabut akar-ulama dari
panggung pemerintahan. Suara-suara keberatan yang dulu bersahaja mulai berubah
menjadi bara.
Lalu datanglah Abu Beureueh, ulama dan tokoh
militer Aceh, membawa suara PUSA — Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Ia menolak
tunduk pada pusat yang tak lagi mengindahkan janji. Pada 1953, ia
mendeklarasikan Aceh sebagai bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII). Ini bukan sekadar pemberontakan, ini adalah bentuk lain dari cinta
yang marah.
Perlawanan terjadi di hutan-hutan, jauh dari
istana. Mereka yang berjuang menyebut diri mujahidin, bukan pemberontak.
Mereka salat dalam kabut, bertakbir sebelum menembak, dan mati dalam sunyi.
Kakekku tak pernah bilang apakah ia bagian dari mereka. Tapi caranya bercerita
tentang gunung, tentang malam, dan tentang pengkhianatan, membuatku tahu: ia
menyimpan rahasia sejarah.
Tahun 1959, setelah perundingan yang panjang dan
getir, pemerintah pusat memberi Aceh kembali statusnya sebagai daerah istimewa.
Syariat diberi ruang, dan Abu Beureueh setuju berdamai. Banyak yang turun dari
hutan, banyak pula yang tetap tinggal—tak percaya pada damai yang lahir dari
luka.
Waktu berjalan. Aceh tampak tenang. Tapi di dalam
tanahnya, bara belum padam. Ketimpangan ekonomi, eksploitasi sumber daya, dan
kemiskinan struktural menebalkan rasa bahwa Aceh hanya dipakai, bukan dibela.
Dan pada tahun 1976, di kejauhan yang dingin, seorang keturunan ulama Aceh bernama Hasan di Tiro menuliskan
babak baru: Gerakan Aceh Merdeka.
Ia tak lagi berbicara tentang syariat, tapi tentang
kemerdekaan penuh. Bukan bagian dari Indonesia—melainkan negara sendiri.
Baginya, luka lama tidak bisa disembuhkan oleh janji yang sama. Harus ada jalan
baru.
Kini, sebagai cucu dari seseorang yang mungkin
bagian dari kisah ini, aku hanya bisa menatap jejak-jejak yang tak pernah ia
akui. Mungkin karena malu, mungkin karena mulia.
Karena sejarah, sering kali, tak hidup di buku. Ia bernapas di dalam diam. Di
antara doa yang tak selesai. Di antara bekas luka yang tak ditunjukkan.
Dan aku tahu… sebagian dari sejarah Aceh, mengalir
juga dalam darahku.
0 Komentar