Aku
tidak pernah lahir di masa damai.
Saat bayi-bayi lain disambut dengan selimut dan senyuman, aku disambut oleh
status: Daerah Operasi Militer.
Itu artinya kampungku adalah tempat yang dianggap berbahaya oleh negara. Dan
aku, sejak lahir, hidup sebagai bagian dari wilayah yang harus dikendalikan.
Suara
sepatu laras lebih akrab daripada suara lagu anak-anak.
Panggilan “angkat tangan!” atau “tunjukkan KTP!” adalah bunyi-bunyi biasa, yang
bisa terjadi bahkan ketika kami hanya bermain kelereng di depan rumah. Tentara
dari Jawa berdatangan—katanya untuk mengamankan. Tapi yang kami lihat adalah
rumah-rumah digeledah, laki-laki dibawa tanpa kabar, dan ibu-ibu menangis
diam-diam.
Aku
masih kecil saat menyadari bahwa rumahku tidak seperti rumah teman-temanku.
Ada orang-orang yang datang diam-diam di malam hari, mengetuk pintu perlahan.
Mereka bukan pencuri. Mereka tidak membawa senjata. Tapi mereka membawa sesuatu
yang tak bisa kupahami: bisik-bisik tentang perjuangan.
Mereka
memanggil ayah. Mereka duduk di ruang tamu. Kadang di meja makan. Kadang hingga
larut malam.
Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Ayah tidak pernah bercerita. Ibuku
selalu mengalihkan jika aku bertanya. Tapi aku ingat wajah-wajah mereka. Aku
ingat cara mereka menatap ayah dengan hormat. Aku ingat cara mereka
memanggilnya “bang” dan mengangguk sebelum pergi.
Beberapa
minggu sekali, tentara juga datang. Mereka menanyakan ayah. Kadang dengan nada
kasar. Kadang dengan todongan.
Jika ayah sedang tidak di rumah, ibu hanya bisa menunduk dan menjawab dengan
pelan, “Pergi ke pabrik.” Tapi wajah ibu selalu tegang. Tangannya gemetar saat
memegang pintu.
Suatu
malam, ayah ditarik keluar. Mereka menggeledah rumah, membalik tikar, membuka
lemari. Aku dan adikku bersembunyi di balik kelambu sambil menahan napas.
Ketika ayah kembali, bajunya robek. Ada bekas darah di pelipis. Ia tidak
berkata apa-apa. Hanya memeluk ibu lama sekali.
Kami
tidak pernah tahu pasti, apakah ayah bagian dari GAM atau hanya simpatisan.
Mungkin dia hanya orang biasa yang tak tahan melihat ketidakadilan. Mungkin dia
hanya buruh pabrik yang dipaksa memilih diam atau melawan. Tapi malam-malam
itu, tamu-tamu itu, dan ketakutan yang menggumpal di rumah kami—semuanya
menjadi jawaban yang tak pernah benar-benar terucap.
Di
sekolah, kami belajar dalam bayang-bayang senjata. Di gerbang ada dua tentara.
Kadang mereka masuk ke kelas, berdiri diam dengan mata tajam, membuat guru kami
gugup dan siswa-siswa jadi bisu. Temanku Azwar pernah dipukul hanya karena
memakai ikat kepala merah. Katanya simbol pemberontak. Tapi ibunya membelikan
itu sebagai hadiah ulang tahun.
Hidup
kami seperti berjalan di atas ranjau. Satu kata salah, satu pandang mata
terlalu lama, satu gerakan dianggap mencurigakan—dan kami bisa dibawa. Atau
dipukul. Atau hilang.
Kini,
Aceh telah damai. Tak ada lagi sepatu laras. Tak ada lagi razia malam. Tapi itu
bukan berarti semua telah sembuh.
Trauma masih tinggal di rumah kami, seperti debu yang tak bisa dibersihkan.
Kami masih terbangun karena mimpi buruk. Kami masih refleks tiarap saat
mendengar suara keras. Kami masih takut jika seseorang bertanya terlalu banyak.
Rasa
benci itu belum hilang. Tapi kami belajar menyimpannya baik-baik, agar
anak-anak kami tidak mewarisinya.
Keinginan untuk merdeka… masih ada. Tapi bukan karena kami membenci
merah-putih. Kami hanya ingin diakui, dihargai, dan diperlakukan sebagai
manusia—bukan wilayah operasi.
Sekarang
semua sudah berlalu. Tapi semoga tidak dilupakan.
Semoga Aceh baik-baik saja.
Meski kami tahu, kami tak pernah benar-benar baik-baik saja.
0 Komentar