Aidit: Sebelum Namanya Dihapus dari Sejarah

 

Aidit: Sebelum Namanya Dihapus dari Sejarah

Ia datang dari Belitung, sebuah pulau kecil yang kelak mengantarkannya ke pusaran sejarah paling kelam negeri ini. Namanya Dipa Nusantara Aidit. Tapi dalam lembar-lembar buku pelajaran, nama itu nyaris tak disebut. Ia lebih sering muncul sebagai bayang-bayang: tokoh gelap di balik tragedi, simbol dari ideologi yang dibenci, atau biang kerok dari malam berdarah yang hingga kini tak pernah benar-benar selesai diceritakan.

Namun sebelum semua itu, Aidit adalah seorang pemuda dengan buku-buku tebal di tangannya, dengan mata yang menyala oleh mimpi akan keadilan. Di masa republik baru saja merangkak dari penjajahan, ia menawarkan jalan lain. Bukan jalan Soekarno yang karismatik, bukan pula jalan tentara yang gemar menabuh senapan—Aidit datang membawa gagasan yang lahir dari api Revolusi Bolshevik, dari gema Moskow, dari penderitaan kaum buruh yang lapar dan petani yang tak punya tanah.

Ia menulis. Ia berpidato. Ia mengatur strategi. Di balik sorot matanya yang tenang, tersimpan semangat untuk meruntuhkan tatanan yang dianggap menindas. Dan anehnya, banyak yang mendengar. Bahkan sangat banyak.

Di bawah kepemimpinannya, Partai Komunis Indonesia tumbuh menjadi partai komunis terbesar di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Tapi justru di puncak kekuatan itu, sejarah berubah wajah. Kudeta, konspirasi, dan peluru.

Tahun 1965. Dalam semalam, Aidit menjadi buronan. Dikejar, ditangkap, dan akhirnya dibunuh. Tanpa pengadilan. Tanpa kesaksian. Hanya bisik-bisik yang diwariskan. Jenazahnya tak pernah ditemukan. Namanya dihapus dari ruang kelas, wajahnya tak lagi tampak di buku-buku sejarah, kecuali sebagai musuh bangsa.

Tapi apakah sejarah sesederhana itu?

Aidit bukan sekadar tokoh. Ia adalah cermin dari sebuah zaman—zaman yang mencari bentuk, yang penuh idealisme dan juga intrik. Kita boleh tidak setuju dengan ideologinya. Tapi menutup mata dari kisahnya, sama saja dengan membiarkan sejarah dikisahkan oleh yang menang saja.

Dan sejarah, sayangku, tak pernah sesederhana “baik” dan “jahat.”

 

Posting Komentar

0 Komentar