Ambon 1999: Luka yang Mengajarkan Damai

 

Ambon 1999: Luka yang Mengajarkan Damai


Luka Kolektif yang Terlupakan

"Pada suatu masa, di sebuah kota kecil yang dikelilingi laut biru dan bukit hijau, suara azan dan lonceng gereja pernah berdenting nyaris bersamaan. Tapi semuanya berubah ketika suara ledakan dan teriakan menggantikannya. Damai tumbang oleh prasangka. Kota pun terbakar."

Ambon pernah dikenal sebagai mutiara Maluku. Sebuah kota yang dihuni oleh dua umat besar: Muslim dan Kristen, yang hidup berdampingan dalam keseharian—di pasar, di sekolah, di kapal, di jalanan. Namun pada Januari 1999, semua itu berubah. Sebuah pertikaian kecil meletup menjadi tragedi kemanusiaan besar yang menewaskan ribuan jiwa dan memecah-belah sebuah kota menjadi dua dunia yang saling mencurigai.

Dalam sejarah Indonesia, banyak konflik yang didiamkan, dikubur agar tak memalukan. Tapi luka yang disembunyikan hanya membusuk, lalu membisikkan dendam ke generasi berikutnya. Ambon adalah salah satunya—konflik yang kerap disederhanakan sebagai “konflik agama,” padahal sesungguhnya jauh lebih kompleks.

Ini bukan hanya cerita tentang bentrok dua keyakinan. Ini adalah cerita tentang manusia yang kehilangan, kota yang hancur oleh kebencian, dan harapan yang perlahan disusun kembali di atas puing-puing yang terbakar.

Dan inilah catatan itu—agar kita tak melupakan, agar damai tak hanya menjadi kata kosong di bibir para pemimpin.


Awal Mula Api Itu Menyala

"Tidak ada yang menyangka bahwa pertikaian dua manusia akan membakar sebuah kota. Tapi memang begitu cara api bekerja—ia hanya butuh percikan kecil untuk menelan segalanya."

Tanggal 19 Januari 1999, kota Ambon tengah bersiap merayakan Idul Fitri. Jalanan masih dipenuhi kendaraan, para pedagang sibuk melayani pembeli, dan anak-anak berlarian menyalakan petasan seperti biasa. Tak ada yang menduga hari itu akan menjadi awal dari tragedi.

Di kawasan Batu Merah, seorang sopir angkot Muslim terlibat cekcok dengan seorang pemuda Kristen. Entah siapa yang memulai, tapi kabar yang menyebar justru berubah liar: sopir itu dipukul karena agamanya, atau sebaliknya—pemuda itu dikeroyok. Tidak ada kepastian, hanya desas-desus yang terbang lebih cepat daripada logika.

Tak butuh waktu lama, massa mulai berkumpul. Senjata tajam, batu, kayu, dan api menjadi bahasa baru di jalanan. Rumah-rumah dibakar. Tempat ibadah diserang. Polisi dan militer datang—tapi sebagian justru dianggap memihak salah satu kelompok. Dan semakin malam, Ambon tak lagi seperti Ambon. Ia berubah menjadi kota perang.

Desas-desus dan ketakutan menjalar ke kampung-kampung lain. Banyak yang mengungsi, banyak pula yang terpancing ikut bertempur demi membela "kelompoknya", bahkan ketika mereka tak tahu siapa lawannya. Yang jelas: yang berbeda adalah musuh. Dan itulah yang paling berbahaya dari kebencian—ia membuat manusia lupa bahwa kita pernah hidup saling sapa.


Bukan Hanya Konflik Agama

"Agama hanyalah pakaian yang dikenakan amarah. Tapi amarah itu tumbuh dari perut yang lapar, kekuasaan yang timpang, dan luka yang dibiarkan membusuk."

Jika semua ini semata-mata karena beda iman, maka seharusnya kota Ambon sudah terbakar puluhan tahun sebelumnya. Karena perbedaan itu telah lama ada. Karena masjid dan gereja telah lama berdiri berdampingan. Karena umat Muslim dan Kristen telah saling berdagang, bertetangga, bahkan menikah.

Namun yang meledak pada tahun 1999 bukanlah sekadar perbedaan iman—melainkan perbedaan kuasa dan rasa keadilan.

Selama bertahun-tahun, distribusi jabatan dalam birokrasi, peluang kerja, dan alokasi sumber daya lokal menjadi sumber gesekan diam-diam. Ada yang merasa didominasi. Ada yang merasa dikesampingkan. Semua itu membentuk jurang yang tak kasat mata—sampai akhirnya jurang itu runtuh, dan manusia jatuh ke dalamnya.

Setelah Orde Baru tumbang, ruang politik terbuka lebar. Tapi di banyak tempat, kekosongan kekuasaan justru memunculkan para "raja kecil" yang bermain api demi memperkuat posisi. Di Ambon, beberapa elite politik lokal disebut-sebut memanfaatkan isu agama untuk menyingkirkan lawan, menggalang loyalitas kelompok, bahkan memperalat sentimen sektarian demi kekuasaan.

Lalu datanglah para milisi—sebagian dari luar daerah—membawa nama agama tapi menebar kebencian. Mereka menyulut api yang telah menyala kecil menjadi kobaran yang menghanguskan segalanya.

Dan masyarakat yang sudah terbelah secara ekonomi dan sosial pun menjadi medan yang mudah terbakar.

Jadi tidak, ini bukan semata-mata konflik agama. Ini adalah konflik tentang rasa tidak adil yang menyamar dalam jubah keimanan. Dan ketika agama ditunggangi oleh ketimpangan, maka ibadah bisa berubah menjadi peperangan.


Kisah di Balik Api dan Debu

“Tak ada yang lebih sunyi dari rumah yang terbakar tanpa sempat menyelamatkan kenangan. Tak ada yang lebih mengerikan dari doa yang terpaksa dipeluk dalam pengungsian.”

Di balik angka-angka korban dan data-data statistik, ada wajah-wajah manusia yang tak pernah kembali sama. Ada anak-anak yang tiba-tiba yatim dan piatu dalam satu malam. Ada ibu-ibu yang kehilangan bayi mereka saat melarikan diri melewati hutan. Ada keluarga yang terpisah dan tak pernah lagi bertemu—entah hilang, entah dibunuh.

Di tenda-tenda pengungsian, bayi lahir tanpa negara, dan anak-anak tumbuh tanpa sekolah. Mereka belajar bahwa perbedaan adalah bahaya, bahwa tetangga yang dulu bermain layang-layang kini jadi sosok yang ditakuti. Trauma itu membekas, diam-diam, dalam bentuk ketakutan yang diwariskan ke generasi berikutnya.

Tempat ibadah, yang seharusnya menjadi rumah damai, justru jadi sasaran kemarahan. Masjid dan gereja dibakar bukan karena mereka salah, tapi karena mereka dianggap lambang dari “yang lain.” Padahal Tuhan tak pernah menyuruh manusia membakar rumah-Nya.

Ada satu kisah tentang seorang ibu yang menyelamatkan tetangganya dari kelompok yang ingin membakar rumah. Si ibu itu Kristen. Tetangganya Muslim. Ia berkata: “Saya tidak menyelamatkan agama, saya menyelamatkan manusia.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi dalam kobaran api, kata-kata itu lebih suci dari seribu pidato.


Damai yang Diperjuangkan

“Damai tidak datang seperti hujan. Ia tidak turun dari langit. Ia harus dicangkul dari tanah, disiram dengan keberanian, dan dijaga dengan pengorbanan.”

Setelah bertahun-tahun kobaran api, Ambon perlahan mulai bernapas kembali. Tahun 2002, lewat Perjanjian Malino II, para tokoh dari kedua belah pihak sepakat mengakhiri konflik. Pemerintah memediasi, milisi dibubarkan, dan jalur pengungsi mulai dibuka.

Tapi damai tidak langsung datang. Ia harus diperjuangkan dari bawah.

Anak-anak yang dulu dibesarkan dalam ketakutan diajak bermain bersama. Sekolah-sekolah mulai membuka kelas lintas agama. Pasar kembali menyatukan penjual dan pembeli dari dua sisi kota. Para pemuda dari Muslim dan Kristen membentuk kelompok rekonsiliasi, menggelar acara bersama, dan menyembuhkan luka lewat seni, dialog, dan kerja nyata.

Tapi bekas luka tetap ada. Sampai hari ini, kota Ambon masih terbelah dalam ruang yang tak kasat mata. Beberapa kampung tetap homogen secara agama. Sekolah, jalan, bahkan angkutan umum pun sering dibedakan jalurnya.

Namun di sela-sela itu, ada secercah harapan. Karena damai bukan tentang menghapus masa lalu, tapi tentang memilih untuk tidak mengulangnya.


Agar Api Itu Tak Menyala Lagi

“Yang paling menyakitkan dari sebuah tragedi bukan luka yang ditinggalkan, tapi ketika kita memilih melupakannya.”

Ambon mengajarkan kita bahwa perbedaan bukan musuh, tapi prasangka adalah racunnya. Ia menunjukkan betapa mudah manusia terpecah jika keadilan tidak hadir, jika ketimpangan dibiarkan, dan jika pemimpin membakar api bukannya memadamkan.

Hari ini, banyak anak muda yang lahir setelah tragedi itu. Mereka tidak tahu betapa keras suara bom di malam hari. Tidak pernah melihat orang mengungsi sambil memeluk Alkitab atau Al-Qur’an di dada. Tapi kisah ini harus tetap diceritakan—agar mereka tahu harga dari kata “damai”.

Karena jika kita lupa, api itu bisa menyala lagi. Bukan hanya di Ambon, tapi di mana pun di negeri ini—ketika agama dijadikan alat kekuasaan, ketika perbedaan dikoyak demi kepentingan sempit.

Semoga kita tak lagi memilih membakar demi merasa paling benar. Semoga kita belajar dari luka. Dan semoga, damai bukan hanya singgah… tapi menetap, selamanya.

 

Posting Komentar

0 Komentar