Di era ketika huruf
tak lagi cukup dan suara tak lagi mengejutkan, multimedia hadir sebagai makhluk
berkepala lima: ada gambar, ada suara, ada gerak, ada teks, dan ada emosi yang
dikemas jadi paket satu klik. Ia bukan sekadar karya seni digital. Ia adalah
bahasa. Bahasa baru. Bahasa yang melampaui alfabet, melompati paragraf, dan
kadang, memukul logika pakai efek slow motion.
Coba lihat
sekelilingmu. Hari ini, orang menyampaikan isi hatinya lewat voice note diiringi musik galau. Menyatakan
perang lewat Instagram Story dengan
background lagu “Kill Bill”. Bahkan lamaran cinta pun kini dikemas pakai montage cinematic, lengkap dengan drone shot
dan transisi ala Marvel.
Dunia tak lagi diam.
Ia bergerak, berdetak, dan bersuara dalam format MP4.
Multimedia: Dari
Meme Hingga Manipulasi
Meme bukan lagi
hiburan. Ia adalah editorial digital. Dalam satu bingkai, satu teks pendek, dan
satu ekspresi absurd, bisa terselip kritik sosial yang lebih menyakitkan dari
tajuk rencana.
Tapi hati-hati,
multimedia juga punya sisi gelap. Deepfake, visualisasi palsu, dan overdosis
filter bisa mengaburkan batas antara kenyataan dan tipuan. Dunia maya tak lagi
maya—ia bisa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Kita diajak untuk
percaya pada wajah yang tak pernah ada, pada suara yang direkayasa, dan pada
narasi yang hanya indah di storyboard.
Kita Semua Sedang
Menjadi Editor Realitas
Zaman ini, kita tak
lagi sekadar jadi pengguna media. Kita adalah kreator. Tapi juga kurator. Juga
konsumen. Dan ya, juga korban.
Kita belajar
memilih font untuk menyampaikan emosi. Kita membentuk identitas lewat warna
tone. Kita menyunting diri sendiri dengan kejam. Kita memilih filter untuk
menyembunyikan realita, bukan sekadar memperindah. Multimedia telah membuat
kita jadi editor realitas. Bukankah itu
luar biasa... dan sedikit menyeramkan?
Belajarlah Bicara
dengan Bahasa Zamanmu
Maka tak heran jika
hari ini, orang yang tak menguasai multimedia bukan cuma tertinggal—ia seperti
orang yang kehilangan lidah. Sebab dunia hari ini tak hanya membaca kata, tapi
juga membaca warna, komposisi, suara, dan gerak.
Multimedia bukan
sekadar alat ekspresi. Ia adalah aksara zaman. Ia adalah bahasa baru peradaban.
Maka, belajarlah bicara. Sebab dunia sedang mendengarkan—dengan mata, telinga,
dan hati... dalam format high definition.
Sudahkah kamu belajar bahasa multimedia hari ini? Atau kamu masih menulis puisi di hati yang tak pernah dibaca siapa-siapa? Yuk, mulai bereksperimen—karena dunia sedang menunggu versimu yang paling visual.
0 Komentar