Ada luka dalam sejarah
bangsa ini yang begitu dalam, sampai-sampai banyak yang memilih untuk tidak
membicarakannya. Luka itu bernama 1965.
Bagi sebagian orang, itu
hanyalah catatan sejarah. Bagi sebagian yang lain, itu adalah titik di mana
hidup mereka, keluarganya, dan masa depannya dihancurkan—bukan oleh musuh
asing, tapi oleh sesama anak bangsa.
Setelah peristiwa yang
dikenal sebagai G30S, negara melancarkan operasi pembersihan terhadap siapa pun
yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau
simpatisannya. Tuduhan itu seringkali tanpa bukti, hanya bisikan tetangga,
dendam pribadi, atau sekadar kebetulan buruk.
Antara tahun 1965
hingga 1966, ratusan ribu orang dibunuh. Angka pastinya tak pernah
disepakati—ada yang mengatakan 500 ribu, ada yang menyebut hingga satu juta
nyawa. Darah mengalir di desa-desa, mayat mengambang di sungai, dan tanah
pekuburan massal tak pernah diberi tanda.
Bagi yang selamat,
penjara menjadi rumah mereka selama bertahun-tahun. Tanpa pengadilan. Tanpa
kesempatan membela diri. Mereka diasingkan, dipecat dari pekerjaan, keluarganya
dijauhi, anak-anaknya dicap sebagai keturunan “orang terlarang.” Bahkan puluhan
tahun setelahnya, cap itu masih melekat.
Ironisnya, buku
sejarah sekolah hanya menyisakan satu narasi resmi—narasi yang membenarkan
kekerasan, menghapus wajah korban, dan menutup ruang untuk bertanya. Kita
dibesarkan dalam diam, diajari untuk melupakan, padahal yang dibutuhkan
hanyalah keberanian untuk mendengar.
Luka itu tak
pernah benar-benar sembuh. Ia diwariskan seperti warisan pahit yang tak
diinginkan. Setiap kali ada yang mencoba membuka kembali, selalu ada suara yang
berkata, “Sudahlah, itu masa lalu.” Tapi bagaimana kita bisa benar-benar
berdamai, jika bahkan kebenaran pun belum pernah diungkap?
Genosida 1965
bukan sekadar peristiwa kelam dalam buku sejarah. Ia adalah cermin retak yang
memantulkan wajah kita sendiri—wajah bangsa yang pernah saling membantai, wajah
yang masih takut menatap kebenaran.
Dan mungkin, satu-satunya cara untuk
menyembuhkan luka itu… adalah dengan berani melihatnya.
0 Komentar