Tadi pagi aku duduk di warung depan sambil minum kopi. Ada Bu
Ratih, Ci Ellie, dan Bu Siska. Semuanya mengucapkan selamat imlek buat Ci Ellie,
kecuali aku. Mereka sibuk membahas soal perayaan imlek, kecuali aku. Dan mereka
juga bercerita serunya pesta kembang api tadi malam. Ah, aku sama sekali tidak
tertarik. Tidak ada yang spesial bagiku, kecuali kopi gratis yang ditraktir Ci
Ellie.
Dalih-dalih mulai bosan, aku pun berencana pamit mau balik
ke kamar. Kebetulan juga, target tulisanku hari ini lumayan banyak. Eh, malah tambah
betah jadinya. Teh Dona tiba-tiba datang membawa pizza. Niat pun segera kuurung,
sambil basa basi tanya dari mana ini itu, potongan pizza pun lenyap di
masing-masing tangan. Beruntungnya aku dapat dua potong, sebab Bu Ratih hanya mengambil
separuh dari jatahnya Bu Siska. Mereka berdua sudah tua, wajarlah nenek makan
beginian kurang bisa dinikmati.
“Zri, bahayanya merokok apa, sih?” Teh Dona tiba-tiba nanya
sambil menyalakan rokoknya.
Spontan aku kaget, apa-apaan menanyai hal yang sama sekali
tidak perlu dijelasi lagi. Maka sambil melahap pizza yang tersisa di tangan, aku
pun menjawab, ”Itu, Teh! Lihat saja sendiri di bungkusnya,”
Ternyata bukan aku saja yang kaget, para kaum hawa yang ada
di situ juga langsung membuka tema baru dalam perbincangan mereka. Aku
mendengar beberapa kali, ada kata ‘rokok’ di dalam pembicaraan mereka yang
menggunakan bahasa Sunda. Walau tidak terlalu mengerti, aku yakin mereka juga
sedang membahas tentang pertanyaan Teh Dona tadi. Soalnya, semua yang ada di
warung pagi ini adalah perokok, termasuk aku kadang-kadang.
“Saya nggak setuju kalau rokok dilarang-larang,” cetus Ci
Ellie tiba-tiba.
Semua mata kini tertuju padanya. Ia meraih sebatang rokok,
lalu menyalakannya. Tidak perlu bertanya alasannya, Ci Ellie langsung
menjelaskan setelah menghembus asap pertamannya.
“Iklan-iklan anti rokok terlalu lebay, masa dibilang merokok
bisa buat orang cepat mati,” Ci Ellie kembali menarik tembakaunya, lalu
melepaskannya lagi, "Ibu saya juga perokok, umurnya sekarang 80 tahun. Teman-teman
seusianya yang tidak merokok, semua sudah meninggal,”
Aku dan Teh Dona hanya senyum-senyum mendengarnya, sama
sekali tidak membantah.
“Iya, beneran. Kalau mau,
ayuk, kita ke rumah Ibu saya di Tasik,” tambah Ci Ellie meyakinkan.
Bu Ratih dan Bu Siska mendadak terkekeh, seperti ada sesuatu
hal menarik yang ingin mereka sampaikan. Terlebih Bu Siska, ia yang paling tua
di antara kami. Cucunya saja sudah empat, dua di antaranya duduk di bangku
kuliah.
“Teman saya juga banyak yang sudah meninggal, rata-rata juga
nggak merokok,” sahut Bu Siska yang kini sudah ada lintingan tembakau menyala
di tangannya.
“Haha, urusan mati atau penyakit itu urusan Tuhan, mana
boleh dibawa-bawa ke dalam rokok,” timpa Bu Ratih tak mau kalah, sambil mencari-cari
korek api yang padahal masih di tangan Bu Siska.
“Tapi di video yang pernah saya tonton, ada itu. Seram banget,
waktu dibandingi paru-parunya perokok sama yang tidak. Ih, beda banget, lho,”
cetus Teh Dona yang masih menyelip rokok di jemarinya.
“Nah, itu dia Teh! Filosofi rokok itu sama dengan portitusi.
Mau apapun debat pro kontranya, mau bagaimanapun benar salahnya, keduanya akan
selalu ada. Tetap akan selalu ada, tidak
bisa dihapuskan. Tetap dilakukan, tetap dicari, tetap juga ada yang menyediakan.
Meski apapun dampaknya sudah terbukti tadi,” cetusku di dalam kepungan asap
yang semakin pengap.
“Orang Indonesia kalau belum paru-parunya bolong, terus
batuk-batuk darah sampai sesak nafas, mana ada yang mau berhenti merokok.
Kecuali pabrik rokoknya yang ditutup,” Bu Siska tiba-tiba membuatku jadi seram
sendiri.
“Rokok kita beli pakai uang sendiri, semuanya sendiri,
kenapa harus dilarang? Misalnya menganggu lingkungan, justru saya lebih
terganggu dengan orang yang tidak merokok. Enak saja main hisap asap gratis
dari rokok kita, kalau mau beli, dong!” timpa Bu Ratih dengan mata merah karena
pengap. “Nazri! Tolong buka jendelanya! Bisa mati juga kita kalau begini,”
lanjutnya sambil menahan batuk.
“Hahaha, iya, Bu,” sahutku bangkit membuka jendela dan
melebarkan pintu yang tadinya setengah tertutup. Sepintas aku melihat iklan
larangan merokok bergambar anak bayi yang tertempel di pintu, “Ini baca,
lindungilah mereka dari asap rokok Anda,”
“Eh, iya, Zri. Sebenarnya, saya lebih senang kalau lagi merokok itu ada
yang ingatin. Bilang kek, maaf jangan merokok di sini, saya tidak tahan
asapnya, gitu. Jangan marah-marah pakai bawa-bawa lingkungan segala. Langit itu masih luas,
asap pabrik saja hilang, apalagi cuma secuil rokok,” timpa Teh Dona mematikan
puntung berasapnya.
“Ah! Iklan anti rokok itu cuma untuk membunuh ekonomi di
Indonesia. Itu lebih mengancam daripada orang mati karena rokok. Sekarang bisa
nggak, sebutin angka orang yang kematiannya sebab merokok, seperti jumlah orang yang mati
karena pelanggaran lalu lintas?” Ci Ellie kemudian mengambil rokoknya lagi, dan
membakarnya dengan api rokok sebelumnya yang sudah tinggal puntung.
“Heran, ya, rokok dilarang, tapi indomie, jajanan anak,
permen karet, dan itu, itu yang semuanya jelas-jelas berbahan kimia kenapa
nggak? Kan gila juga itu bahayanya! Kayak indomie, kan bisa kanker, anak-anak jadi bodoh! Teros kenapa nggak dilarang?!!” sembur Ci Ellie seolah-olah menghakimi
kami yang lebih muda darinya.
Aku dan Teh Dona hanya manggut-manggut memaksa setuju, tidak
berani bantah, apalagi membahas lebih lanjut tentang bahayanya merokok dalam
keadaan ruangan yang sudah seperti dilempari bom asap untuk penyergapan ini. Ah,
percuma sajalah! Mau bilang apa? Wong kita juga merokok, toh!
Bandung, 01 Febuari 2014
6 komentar
dan di tipi udah ada peringatan rokok membunuhmu !
ReplyDeletesalam (c) kopi
Ya, tentu saja. di segala pelosok juga sudah ada.. :-s
Deletetoss! (c)
Betul mando, ibarat prostitusi. Pro kontra. Aku tengah-tengah aja. Merokok memang bahaya. Kalau ada kenyataan orang bisa bertahan hidup lebih lama dari yg tidak merokok, coba lihat juga berapa besar orang yang mati krn rokok. Bagusnya, 1. pabrik rokok ditutup dan pekerjanya trmsk petani di alihkan ke usaha lain, 2. silahkan produksi rokok, tapi perokok diberi asuransi kalo sakit krn rokok. Hahaha :d
ReplyDeleteSependapat, way!
DeleteMemang nggak obatnya lagi..
Walaupun pabrik rokok ditutup, yang hisap rokok tetap pasti ada..
Busuk-busuknya negara kita, yang kreatif lebih banyak..
Jaman kita kecil, gak ada rokok, batang jambu pun jadi..
atau yang lebih akut, tuh yg di jalan-jalan tetap bisa ngelem, kan? :-s
di poin ke 2, aku cukup setuju.. tapi asuransinya gratis.. jangan pake ada tagihan tiap bulan.. :-d
Rokok tetap sumber Inspirasi. :)
ReplyDeleteInspirasi untuk buat cerita gini iya..
Delete