Kembali aku mengenang. Siapa diri ini, dan ke mana jiwa ini
harus mengalir? Ada artinya, aku lagi-lagi tidak pernah lepas dari dunia tulis
menulis. Aku pernah membanggakan diri sebagai penulis. Akulah yang tidak pernah
bisa melepaskan diri dari sesuatu yang membuatku pernah bertahan sebagai kuli
tinta. Ada sebabnya, dan selalu ada alasan untuk setiap ceritaku. Ya, mungkin
inilah tulisanku yang paling kaku, setelah ratusan hari tidak menulis di
halaman word yang dulu sangat akrab dengan waktu-waktuku.
Gaya penulisan hingga kosa kata khasnya diri gila ini, sepertinya
sudah banyak yang tumpul. Terakhir aku menulis sekitar bulan Oktober tahun
lalu, setelah sebelumnya bulan Maret 2015. Sangat jauh renggangnya waktu yang
aku punya. Padahal banyak yang bisa aku ciptakan di setiap malamnya. Pasti sudah
ada ratusan bahkan ribuan karya yang seharusnya mampu mengabadikan sosok penuh
keterbatasan ini. Meskipun sekedar beberapa bait puisi, tapi dari manisnya
sastra ini pula aku pernah menghidupkan napasku.
Aku pernah bertahan hidup sebagai penyair. Rasanya miskin
penuh ratap. Sengsara dan berbau keluh. Menangis setiap berdiri di pintu pasar.
Berteman dengan sepi. Melolong kebencian. Memuja sunyi dan rasa. Serta menghakimi
dunia seakan diri yang paling benar. Begitulah jatinya seorang penyair. Sebab naluri
seorang penyair biasanya cenderung memihak terhadap derita, dan menikmati
kesengsaraan sebagai seni. Rasa yang hidup adalah seninya, dan seni adalah
bagian hidupnya.
***
Pagi sesaat sebelum merangkak menuju Jakarta di pertengahan
tahun lalu, aku membaca banyak karya sastra, juga buku-buku tentang keadilan yang
punah, dan sejarah yang sengaja dipudarkan. Aku menyimak sisi-sisi negeri ini
yang kelam. Aku rasakan sendiri kebohongan-kebohongan yang terorganisir di
setiap-setiap kantor berita. Sepanjang perjalanan dari Bandung ke Jakarta itu
pula, aku ratapi kisah-kisah mereka yang dihakimi oknum yang menamakan diri
sebagai wartawan. Termasuk keluhan orang yang duduk bersebelahan denganku di
gerbong milik PT. KAI kala itu.
Ia punya pandangan tidak mengenakkan terhadap media beserta semua
personilnya. Hingga aku bosan membela diri. Aku dibuat tidak semangat untuk memperjuangkan
citra wartawan, setelah berulang kali menjelaskan tentang nasib jurnalis dan
makna pers di negeri ini. Maka aku pun gagal bertahan dengan menyinggung UU
Pers dan kode etik jurnalisme. Padahal berkali-kali pula aku tegaskan padanya, “Itu
yang disebut oknum! Dan tidak disebut wartawan jika ia bersikap di luar UU dan
kode etik!”
Intisari yang bisa aku rangkul saat itu hanyalah melupakan
diri sebagai pemegang kartu pers yang dilengkapi logo media komersil. Mengkhilafkan
diri dari semua kisah-kisah pahit, serta manisnya dan kerennya seorang
wartawan. Aku resapi sisi negatif dari sikap jurnalistik yang cenderung
berkesan kepo dan sok tahu setelah menganalisa segala hal. Walau secara nyatanya
aku pun sadar, rasa ingin tahu yang besar itu pula yang perlu dipelihara. Teliti
saat menganalisa objek itu juga wajib untuk dibudidayakan. Jurnalistik adalah
ilmu yang bisa menyusup ke segala aspek pengetahuan. Benar kata kakekku, “Jika kau mau jadi orang pintar, jadilah
wartawan!”
Aku boleh saja berbangga serta merasa sangat terdidik setelah menggeluti dunia jurnalistik. Tapi bukan berarti aku bisa bertahan lebih lama
lagi untuk setia di bawah penindasan yang bersumber dari efek kolongmerasi media
di negeri ini. Fenomena yang terang-terangan telah melahirkan ribuan kesesatan
yang dianggap kekayaan intelektual seseorang. Bagiku ini adalah virus
berbahaya, dan racun kebodohan yang memungkinkan dipuja oleh generasi-generasi
setelah aku. Lagi pula, jalur jurnalistik tidak harus diabdikan untuk sebuah media
massa yang selalu aku sesali untuk dipertanyakan, siapa dia yang ada di balik
nama besar itu? Terlebih, saat aku harus terpaksa mengakuinya, bahwa kami juga
pekerja yang berjuang layaknya kesibukan para buruh kantor dan pabrik.
Jadi teringat pada suatu magrib di Harmoni, tatkala berdiri penuh sesak
di halte busway. Aku mencermati wajah-wajah lesuh para penghuni ibukota. Sungguh
kasihan. Mereka terlihat sangat lelah. Mereka bertahan di bawah penindasan
perusahaan yang semakin kaya dari keringat mereka. Mereka yang kerap mengeluh,
namun masih saja bisa berbangga dengan id card yang menggelantung di lehernya. Padahal
upah mereka per bulan bisa diperkirakan lebih kecil dari pedagang gorengan di
dekat-dekat kantor mereka. Aku berpikir, diriku juga bagian dari mereka yang
menzalimi dirinya untuk sebuah status sebagai pekerja. Dengan alasan terkonyol,
bekerja agar tidak digolongkan pengangguran yang kerap bosan di awal pagi. Namun
masih saja ada di hariku yang rasakan kejenuhan itu, meskipun bukan dalam status
pengangguran.
Maka setelah mengenang setiap resign dari satu per satu perusahaan
yang pernah melibatkanku sebagai pegawai, kali ini aku beralih profesi yang
tidak sema-mata untuk upah atau gaji bulanan. Aku bekerja demi sebuah nilai
seni, dan karya yang aku tawarkan adalah kebanggaan dari jiwaku.
Dan inilah aku yang sengaja
berkerigat sebagai seniman dan petualang. Aku bekerja untuk menghidupkan jiwa,
sebab jiwa yang hidup akan selalu menghidupkan kehidupan.
–Aku telah melihat secara
nyata di setiap kematian seorang seniman. Mereka tidak akan pernah berada di dalam
kematian yang sepenuhnya, sebab jiwa mereka selalu hidup bersama napas seni
yang abadi.
–Begitu pula dengan para
petualang. Merekalah yang akan mampu menghidupkan kembali jiwa-jiwa yang telah dimatikan
karena batas.
(*)
Kolong Langit, 2016
1 komentar
Pulanglah, Nak. Jangan berdiri di pintu pasar kalau cuma untuk lap keringat. Hehehe... tetap semangat bang naz, resign untuk keputusan yang terbaik. Intinya kerja bukan pada berapa jumlah rupiah yang bisa kita kumpulkan tapi pada kenyamanan dan bahagia ketika menggelutinya. Semangat.....
ReplyDelete:>)