Sejauh
ini, aku masih menghisap sebatang rokok. Bukan tidak ingin menjaga kesehatan, tapi
banyak yang lebih membuatku diam. Terutama mengenai seni. Ya, aku seniman yang
mungkin tidak diakui. Ah, entah bagaimana pula aku kaitkan seni dan merokok,
selain menyebut teman setia banyak seniman adalah kopi dan rokok.
Asapnya
bagiku adalah beban, sedangkan bara merahnya rasa sakit. Berulangkali aku
berdiskusi, dan bahkan berdebat mengenai dampak buruknya. Namun belum mampu
membuatku takut, bahwa merokok itu dapat membunuhku. Apalagi mengingat sebab
aku merokok adalah untuk membunuh beberapa bagian dariku. Termasuk jenuh dan
gelisah.
Semenjak
larangan merokok berupa gambar, aku semakin gemar mengoleksinya. Terutama
gambar paru-paru dan kerongkongan mayat. Sungguh, itu sangat berguna bagiku
yang awam dan penasaran tentang rupa organ dalam manusia. Aku pun kecewa ketika
akhir bulan, sebab rokok yang aku beli tidak diberi bungkus. Ya, hanya beberapa
batang rokok ketengan.
Pernah
ada hari, aku sengaja datang ke Indomaret untuk membeli rokok. Tapi diusir! Dan
aku dibuat malu di depan pelanggan lain yang menurutku mempesona. Hingga
akhirnya aku sadar, bahwa hari itu adalah akhir bulan. Mana mungkin Indomaret
menjual rokok ketengan?!
Ibuku
sudah bosan melarang, ayahku juga telah berhenti dari kebiasaannya merokok.
Sedangkan aku? Hmm, butuh pengertian hebat mengenai itu semua. Mengapa harus rokok? Padahal aku tidak mencintainya. Bahkan membenci, terutama orang
goblok yang memuja-muja rokok!
Bandung. 05 September 2014
**Hasil obrolan dengan tokoh seniman (juga perokok)
3 komentar
Top! Gambar bungkus rokok sekarang memang lebih imut :-)
ReplyDeletehahaha.. tunggulah sampai terbongkar, kalau semua gambar itu adalah hasil comot entah darimana. soalnya kualitas gambarnya jelek! b-(
DeleteHihi... ga tau mau bilang apa. Tulisan di atas adalah ungkapan hampir semua para perokok. Ga tau kenapa harus berhenti bahkan ketika badan mulai sakit-sakit. Mungkin harus tunggu dada dibelah sama si Ade Oktiviyari dulu kali ya... :-t :>)
ReplyDelete