Doni Bertanya, dan Aku Mengeluh di Bandung

By Unknown - 4:21 am


     Berakhirlah sudah, semangatku menaklukan daratan dingin bernama Bandung. Sebuah pertanyaan pedas terlontar: menjadi alasan paksa aku mengeluh. Oh, betapa beratnya yang harus aku lalui. Mungkinkah ada umpama yang bisa aku selesaikan? Bukan sekedar berlalu, tanpa sedikit pun jawaban mewakili.
“Zri, apa yang sudah kita dapat selama di Bandung?” cetus Doni Daroy, tatkala beku nan menyengat batin di seputaran Braga.
Aku berandai-andai, semoga tawa sederhana bisa mengelabui. Namun saat hampir tujuh belas meter kaki melangkah, desiran itu bagai datang dari neraka. Aku tergagap, meskipun dalam keadaan bijak. Entah apa yang aku lakukan selama ini? Belum ada perjuangan yang benar-benar berbuah ranum. Semua berlalu, seperti keruh air di sepanjang Cikapundung. Tidak ada satu liter pun yang melepas dahaga kalbu. Renungku membeku seiring jenuh dalam kenangan.
***
Aku bertemu dengan rekan-rekan penulis. Mereka lebih hebat dari yang aku bayangkan. Oh, betapa optimis mereka dalam meniti karirnya. Kemudian para aktor yang tidak pernah mementas drama masa depan. Mereka mengitari jalanan yang berserakan sampah, hingga sampah masyarakat kerap bersahabat dalam obrolan kami.
Aku pun berteman dengan wartawan. Memburu berita dalam kanal-kanal berdarah, mengejar tokoh di kubangan sandiwara, dan bertingkah sesibuk mungkin di area police line. Tentu saja tidak sesedih mendengar keluh seniman. Ada ribuan ratap mereka yang ditular pada keseharianku. Terutama penyair, kumuh dan tak terurus. Bahkan aku pun dipaksa makan nasi pakai sajak.
Orang-orang di sekitar, sungguh banyak yang berharap kisahnya dinovelkan. Bagaimana bisa? Sedangkan aku bukan penulis novel yang berpotensi best seller. Cerpen yang aku karang semalaman saja, tidak dimuat-muat di harian minggu. Dari 235 subjek email yang pernah aku kirim, kurang dari delapan judul yang ditayangkan. Selebihnya hanyalah sampah, bahkan aku dibuat malu saat membacanya kembali.
Paling sering menyumbatkan aliran darahku ketika berprofesi sebagai reporter berita. Hampir setiap tugas liputanku menunai kritik. Tidak tanggung-tanggung, bukan lagi pimpinan redaksi yang memberi teguran. Tapi email dari pemilik media yang sudah hampir mengalahkan broadcast BBM alay. Meskipun begitu, bukan pula perkaranya alasanku mengeluh. Sebab ada banyak hal yang membuatku lebih paham tujuan menjadi jurnalis. Bukan jumlah honor, tapi kebanggaan. Ya, aku bangga terpenjara di dunia jurnalistik.
Lantas, apakah aku sudah bisa menjawab pertanyaan Doni Daroy? Tentu tidak.
***
Entah takdir, atau hanya sekedar nasib yang melintas. Sepertinya memang benar, aku hanya mampu untuk menulis. Banyak pekerjaan yang aku geluti, selalu berhubungan kuat dengan alam kepenulisan. Mulai dari perusahaan pernerbitan, hingga sekedar menulis slogan untuk iklan sebuah toko.
Aku senang menulis, walau kadang ingin mati dibuatnya. Hingga aku pun benar-benar membayangkan, jika saja aku tidak bisa menulis. Ah, tentu saja aku sudah mati dimakan bakteri, ataupun rayap triplek di kebun durian. Dan tidak akan pernah ada bait sajak yang bisa dimakan.
Setelah tawaran menulis naskah film layar lebar gagal, aku sempat berpikir untuk membuat filmnya sendiri. Tapi tidak sampai hati, sebab dunia perfilman sudah membuatku begitu bersahabat dengan IDM. Begitu pula saat ikut-ikutan melamar menjadi penyiar radio, aku pun berencana membangun pemancar radio sendiri. Tentu saja tidak kesampaian, sebab ada produser stasiun televisi yang memintaku menulis naskah. Dan bencana besar pun terjadi.
Satu minggu: belum ada yang aku selesaikan. Dua minggu: masih sama. Tiga minggu: selesai setengah. Empat minggu: naskah harus direvisi kembali. Minggu ke lima: aku gila dengan naskah-naskah asing. Minggu enam: semakin buruk. Minggu tujuh: pekerjaan lain larut bersamanya (tidak ada yang selesai). Minggu delapan: Doni Daroy datang mengajukan pertanyaan neraka.
Apa yang aku dapat selama di Bandung? Jika tidak ada, aku harus segera pulang ke Aceh. Tapi bagaimana dengan naskah produser itu? Lalu, mau aku bawa ke mana kontrak perkerjaanku di kantor? Begitu pula dengan tugasku sebagai reporter pemburu berita. Sampai kapan akan terus begini? Nahasnya, waktu terus berlalu, dan aku masih saja mengisi postingan blog.  
Untuk sekedar mengungkap rindu, pada embun di kelopak melati Banda Aceh. Aku harus berhenti mengeluh, dan terus bergerak. Kumpulkan honor, kemudian pulang... Lalu mengucapkan selamat ulang tahun buat Kota Bandung. 

Bandung, 25 September 2014 

  • Share:

You Might Also Like

3 komentar

  1. Semangat Aneuk Muda.. Mak do'akan kalian selalu baik-baik di sana,, Mengecapi pilunya kota yang kelak akan kalian rindukan..

    ReplyDelete