19 Oktober Bermakna

By Unknown - 3:57 am

Setidaknya, aku berani mempertaruhkan kebahagiaan. Mengukir kehampaan di permukaan kanvas yang membusuk. Membicarakan kelabu di hadapan waktu. Menulis keusangan di lembaran rindu. Sebenar-benarnya, kerap pula aku mendendangkan nada-nada sendu. Meskipun tidak pernah seirama dengan kerasnya jeritan pilu di hati. Aku.. seakan terbuang ke lain dunia.
Entah siapa yang akan aku salahkan? Ketika perempuan yang aku panggil ibu, kini memintaku kembali melengkapi bagian rumah. Bertemu lagi dengan kenangan, dan kembali meminjam harapan pada teriknya matahari di Aceh. Setelah sekian hari tak aku temui perubahan, bahkan lebih sering memaki kelelahan bernama gelisah. Aku.. seakan menambah keruhnya dunia.
Ke mana aku sembunyikan semua kekecewaan? Ketika lelaki yang aku panggil ayah, masih saja percaya dengan harapannya. Padahal aku sudah sangat benci yang disebut dengan masa depan. Bahkan aku, tidak pernah ada waktu untuk menerawangnya melebihi nanti. Dalam satuan detik, hanya angka-angka resah yang bertabur di mejaku bekerja. Aku.. seakan kesia-siaan setelah dunia.
Tapi setidaknya, aku masih bisa menyaksikan senyum. Meskipun ranah belum ranum, makam kegagalan tidak berdebu. Menjelang 19 Oktober yang semakin mendekat, aku ingin mencairkan hampa. Menghapus karat yang semakin lebat, menambah pupuk harapan yang lebih tinggi.
Demi kepercayaan ayah, dan pengorbanan kerinduan ibu. Aku sedang menyiapkan sesuatu.. tentu saja tentang keberanian menjadi seorang anak.
Bandung, 16 Oktober 2014 

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar