Dari
seberang, aku menatap perahu di ujung dermaga danau. Bersiap akan berlayar,
tanpa memberi lambaian tangan. Aku cukup terdidik, tidak mengigau, dan bahkan
mungkin tidak penting. Tapi memang dasarnya cinta, mengapa pula harus terjun ke
air. Padahal aku sadar, tidak akan mudah berlari di dasar danau. Apalagi dengan
semak para penghuninya.
Tidak
terbayangkan sebelumnya, berjuta kegilaan mudah terjadi setiap saat. Aku mencoba
bermain teka teki, tapi diperdaya oleh logika. Tepat, persis bongkahan es yang
meleleh dalam tumpukan salju. Semakin jauh, kemudian merubah gelisah menjadi
sesal. Aku menyesal telah mengutuk batinku sendiri. Seolah tidak ada
kecerobohan melebihi jalang sialanku.
Di
lain waktu, banyak harap yang perlahan menjerit. Seakan aku yang memperkeruh dunia,
dan selalu dianggap pembatas di penjara bumi. Padahal nyatanya, manusia memang dilahirkan
demi keterbatasan. Hanya bisa mengadu jejak pada keresahan, dan mengimbangi masa
di kemudian hari. Biar begitu, aku masih enggan bersahabat dengan masa depan. Entah
sebab jeritan itu yang terus membuatku gemetar.
Perahu
itu semakin menjauh. Kemudian dia berhenti di tengah-tengah danau. Aku tidak
ingin terjebak, apalagi dimainkan dingin yang terlalu sesak. Jiwaku memaki
hasrat, jasadku melemah seiring beku. Aku menggigil, melebihi tanda-tanda maut
yang mendekat. Sebelum jauh terseret ke lautan, aku biarkan air mata ini
menjadi samudera.
Agar tujuanmu setelahnya adalah
aku...
Bandung, 13 November 2014
1 komentar
keren x tulisan bg nazri :)
ReplyDelete