Berulangkali
terlintas, menghakimi hidup di ruang kosong ini. Tanpa kepercayaan apapun,
bahkan kepada diriku sendiri. Aku mulai lupa cara untuk bangkit, terutama dari
tidur ketika jarum jam mengarah pagi hari. Lelah rasanya menyengat otot-otot
yang semakin kaku, termasuk otak dan jemariku untuk merangkai kata. Hilang
sudah tentang bayang-bayang seni akan diriku. Jenuh menjadi-jadi tatkala menunggu
ujung jemari mengetuk badan huruf pada keyboard. Seakan-akan merubah jiwaku bagai
pemuda konyol yang memperjuangkan hari hanya demi kejadian serupa terulang lagi
esok. Ya, menanggung kesabaran serupa di hadapan halaman word kosong.
Dulu
aku begitu bergairah, sehingga tidak mungkin berhenti untuk berpikir tentang karya-karya
meski dalam sehela nafas pun. Dulu aku begitu kuat, mendoktrin diriku yang
hanya hidup untuk berkarya. Dulu aku begitu bersemangat, mengajak dan membujuk
siapapun agar tidak pernah berhenti untuk berkarya. Dulu aku sering membuktikan
hidupku yang tidak memerlukan makanan lezat untuk bertahan. Dulu aku bisa
menjabarkan makna kebahagiaan dan cinta melalui kenyataan yang ada. Dan sekarang,
aku seperti batu nisan yang tidak pernah diharapkan oleh siapapun. Pasrah dan
menunggu datangnya masa yang paling enggan diterawang.
Entah
mengapa aku lebih senang mengeluh, daripada hidup semangat yang dulu sempat
betah memeluk tubuh ini. Dulu, bilapun aku mengeluh, tentu saja aku sadar di
setiap keluh hanya sekedar bagian dari seni. Ya, sebagai penyair yang hanya
diakui oleh diriku sendiri, syair yang sempurna adalah keluhan yang meledak-ledak
di dalam bait puisi. Cinta dan amarah, tawa dan air mata, batu dan bara, puji dan
makian hangat bagaikan satu pedang berserta manisnya leher.
Dalam
jerit yang tak berujung ini. Aku mulai suka dengan mimpi buruk yang datang secara
ilegal. Menawarkan haru yang kemudian membuatku lebih betah berlama-lama di
dalam rumah Tuhan. Menggawangi lidah dengan sentuhan lafazd kesucian yang
berasal dari dasar kalbu. Membujuk kecemasan jiwaku dengan ayat-ayat yang
paling mulia di bumi ini. Membunuh nyanyian bengal yang selalu menjadi
sandiwara.
Demi
hidupku yang seharusnya tak gentar, aku berusaha kabarkan salam pada senja yang
menertawakanku sebagai pecundang. Jikapun aku belum bisa bertopeng hanif,
setidaknya kebosanan dunia untuk menebarkan semangat tidaklah palsu. Maka aku
pun punya cukup nyali untuk ciptakan harapan. Biarpun kelak tetap akan menjadi
harapan, aku tidak akan biarkan ia kosong. Terlebih-lebih, melebihi kehampaan
ruangan ini. []
Bandung, 28 February 2015
0 komentar