Jerit Belum Usai

By Unknown - 2:24 am

Berulangkali terlintas, menghakimi hidup di ruang kosong ini. Tanpa kepercayaan apapun, bahkan kepada diriku sendiri. Aku mulai lupa cara untuk bangkit, terutama dari tidur ketika jarum jam mengarah pagi hari. Lelah rasanya menyengat otot-otot yang semakin kaku, termasuk otak dan jemariku untuk merangkai kata. Hilang sudah tentang bayang-bayang seni akan diriku. Jenuh menjadi-jadi tatkala menunggu ujung jemari mengetuk badan huruf pada keyboard. Seakan-akan merubah jiwaku bagai pemuda konyol yang memperjuangkan hari hanya demi kejadian serupa terulang lagi esok. Ya, menanggung kesabaran serupa di hadapan halaman word kosong.
Dulu aku begitu bergairah, sehingga tidak mungkin berhenti untuk berpikir tentang karya-karya meski dalam sehela nafas pun. Dulu aku begitu kuat, mendoktrin diriku yang hanya hidup untuk berkarya. Dulu aku begitu bersemangat, mengajak dan membujuk siapapun agar tidak pernah berhenti untuk berkarya. Dulu aku sering membuktikan hidupku yang tidak memerlukan makanan lezat untuk bertahan. Dulu aku bisa menjabarkan makna kebahagiaan dan cinta melalui kenyataan yang ada. Dan sekarang, aku seperti batu nisan yang tidak pernah diharapkan oleh siapapun. Pasrah dan menunggu datangnya masa yang paling enggan diterawang.
Entah mengapa aku lebih senang mengeluh, daripada hidup semangat yang dulu sempat betah memeluk tubuh ini. Dulu, bilapun aku mengeluh, tentu saja aku sadar di setiap keluh hanya sekedar bagian dari seni. Ya, sebagai penyair yang hanya diakui oleh diriku sendiri, syair yang sempurna adalah keluhan yang meledak-ledak di dalam bait puisi. Cinta dan amarah, tawa dan air mata, batu dan bara, puji dan makian hangat bagaikan satu pedang berserta manisnya leher.
Dalam jerit yang tak berujung ini. Aku mulai suka dengan mimpi buruk yang datang secara ilegal. Menawarkan haru yang kemudian membuatku lebih betah berlama-lama di dalam rumah Tuhan. Menggawangi lidah dengan sentuhan lafazd kesucian yang berasal dari dasar kalbu. Membujuk kecemasan jiwaku dengan ayat-ayat yang paling mulia di bumi ini. Membunuh nyanyian bengal yang selalu menjadi sandiwara.
Demi hidupku yang seharusnya tak gentar, aku berusaha kabarkan salam pada senja yang menertawakanku sebagai pecundang. Jikapun aku belum bisa bertopeng hanif, setidaknya kebosanan dunia untuk menebarkan semangat tidaklah palsu. Maka aku pun punya cukup nyali untuk ciptakan harapan. Biarpun kelak tetap akan menjadi harapan, aku tidak akan biarkan ia kosong. Terlebih-lebih, melebihi kehampaan ruangan ini. []

Bandung, 28 February 2015

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar