Seindah Pisau Batu

By Unknown - 2:21 am

Aku tidak tahu. Kekosongan itu mudah muncul membunuh mimpi-mimpiku. Harapan yang telah aku bangun dengan kenyataan, berubah layak binatang terkutuk yang bermimpi bisa mengapai angkasa. Ya persis, aku tidak mengetahui tujuan setelah bisa terbang. Seperti yang pernah aku katakan, aku membenci masa depan. Dan itu tidak salah. Aku tidak menyalahkan apapun, termasuk kebencianku pada hari esok.
Sesal? Kau kira aku seidiot jalang yang menangisi hal yang telah berlalu? Tidak! Sama sekali tidak. Aku tidak punya waktu untuk menangisi apapun yang telah terjadi. Meskipun terkadang air mata ini mengalir begitu saja di kala sunyi. Sesuatu yang aku cintai juga adalah sunyi. Tapi bukan sunyi yang sendiri. Setiap hari adalah sendiri. Aku melakukannya untuk diriku sendiri. Dan semua jelas, dalam kenyataan hanya untuk menyendiri menanti misteri dari Tuhan. Oh, betapa Maha Seni Tuhan yang telah dihadiahkanNya pada hari-hariku.
Kemuculan beragam senyum, dan berlalu sebanyak kebencian mereka yang merasa paling benar. Seakan benar-benar bisa mengerti dirinya sendiri dan dunia. Seperti mengurangi tanda tanya, demi pantasnya aku untuk dibenci. Salah besar! Aku tidak pernah mengundang kebencian, jika bukan karena pengertian memanusiakan manusia. Andai saja aku bukan manusia, tentu pula aku akan berkata, percuma kau sembahyang dan mengaji.
Sejauh apapun yang disaksikan hari ini, semua adalah cermin dari kenyataan. Seindah apapun lautan di siang hari, tetap akan menjadi misteri panjang untuk malam-malamnya. Aku bercerita tentang seburuk apapun peristwa. Aku juga mengisahkan betapa gelapnya kamarku. Dan sekalipun begitu, tetap saja aku syairkan keindahan untuk semua kegelisahan. Sebab aku mencintai hari ini, waktu ini, hidup ini, dan juga seni-seni Tuhan.
Bandung, 18 Maret 2015

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar