Adakah makna dari sebuah pengharapan?
Di bawah kolong langit, atau di atas segala semesta. Saat doktrin di otakku
hanya bisa mencerca peradaban, dan membenci kenyataan bangsa. Ketika masih saja
aku mengingat, tentang keterbatasan di ujung negeri. Tempat para pecundang
memainkan skenario rekayasanya. Sehingga sejarah pun memaksaku untuk tidak lagi
percaya kepada suara-suara pembangkang, raja-raja provokator, dan profesor-profesor
rumus konspirasi.
Waktu benar-benar telah
mengajariku dengan baik. Revolusi hanya akan bersangkar di antara konflik
internal dan politik. Maniak teror tersusun rapi bersama demokrasi yang
bertualang di istana Fir’aun. Di atas taruhan perdamaian yang berarti ancaman,
aku membaca dengan benar, tentang penjajah yang berteriak penjajah. Tidak
mungkin pula aku salah mendengar, irisan pedang Abu Jahal kembali terasah di
lidah-lidah juru iklan. Dan aku tidak pernah berharap, jika di sana akan
berdiri kembali negeri neraka, yang pernah serupa kebiadaban Jahiliyah.
Era kegelapan seakan semakin
kelam menyelimuti area yang dibatasi tiga sisi. Arah mata yang kerap terpaku tentang
zona berpiagam militer. Tempat aroma darah yang selalu tercium di leher-leher para
pemberani, sehingga bentuk betis perempuan tidak lagi menarik. Atau memang sudah
perlu didatangkan pilihan. Wacana gerakan pemberotak harus segera kembali digelar.
Melalui senapan mesin, atau pernyataan tidak takut mati di hadapan para pembunuh.
Sebab sejatinya, aku belum benar-benar mencium bau kegagalan. Meskipun 840 senjata yang dilucuti telah ditukar dengan tiket pulang untuk 31.681 aparat, tapi simbol itu sepertinya sama sekali tidak berpengaruh.
Maka, biarkanlah aku berpura-pura tertidur dengan sebelah mata terbuka untuk saat ini. Anggaplah ini hanya sekedar ungkapan
laknat dari mereka yang pernah terbunuh di barisan depan. Bagian
dentuman hati yang terus menangis. Narasi dari patahan puisi jiwa yang membalut
tatap-tatap mata yang penuh luka dan gelisah. Tapi coba perhatikanlah tentang cinta dan
hidup yang pernah dirampas. Tentang kebohongan yang pantas dipatahkan. Sungguh, ada banyak sekali kepercayaan yang terang-terangan dikhianati. Terlebih tentang kedudukan dan materi.
Tidak perlu pula aku sebut,
atau bertanya, siapa dia yang sekarang merasa dirinya raja? Ini yang selalu membuatku
seolah-olah sedang bercerita tentang hal gaib. Aneh, dan tidak akan pernah
diterima oleh akal sehat. Bagaimana mungkin, secara tiba-tiba, entah atas
persetujuan siapa, bahkan tidak pula ada yang mengakuinya. Iblis telah menjadi
raja dengan mengatasnamakan kehormatan bangsa. Entah aku yang terlalu buta
untuk melihat kesejahteraan dari kehadirannya? Entah aku yang terlalu tuli
untuk mendengar tangisan yang barangkali sudah menjadi tawa? Semoga aku tidak salah
dengar. Di lubang telingaku, tangisan itu belum lekang menjerit!
Lalu bagaimana dengan kisah-kisah perjuangan? Aku masih berharap, setidaknya ada yang tidak palsu.
Aku cukup sadar, bahwa ada
bagian awal yang selama ini masih ditutup-tutupi, atau memang sengaja didiamkan.
Kebohongan di antara dari lusinan perjuangan yang dulu pernah dibanggakan. Tidak
lebih dari makna kesia-siaan, tatkala cinta dan amarah pernah terkumpul untuk
membenci militer kiriman dari Jawa. Rasanya sangat menyakitkan, ketika mengenang
dada mereka yang ditembus jutaan peluru Made in Bandung. Sepertinya juga akan
semakin tolol, setiap meratapi kibaran warna bendera yang telah ditiru. Dibajak
dengan menempel nama besar bangsa. Sangat berat, tapi aku sudah mulai berhasil
membencinya.
Kolong
Langit Bogor, 2016
0 komentar