Di Lubang Telingaku, Tangisan Itu Belum Lekang Menjerit!

By Unknown - 7:13 am



Adakah makna dari sebuah pengharapan? Di bawah kolong langit, atau di atas segala semesta. Saat doktrin di otakku hanya bisa mencerca peradaban, dan membenci kenyataan bangsa. Ketika masih saja aku mengingat, tentang keterbatasan di ujung negeri. Tempat para pecundang memainkan skenario rekayasanya. Sehingga sejarah pun memaksaku untuk tidak lagi percaya kepada suara-suara pembangkang, raja-raja provokator, dan profesor-profesor rumus konspirasi.
Waktu benar-benar telah mengajariku dengan baik. Revolusi hanya akan bersangkar di antara konflik internal dan politik. Maniak teror tersusun rapi bersama demokrasi yang bertualang di istana Fir’aun. Di atas taruhan perdamaian yang berarti ancaman, aku membaca dengan benar, tentang penjajah yang berteriak penjajah. Tidak mungkin pula aku salah mendengar, irisan pedang Abu Jahal kembali terasah di lidah-lidah juru iklan. Dan aku tidak pernah berharap, jika di sana akan berdiri kembali negeri neraka, yang pernah serupa kebiadaban Jahiliyah.
Era kegelapan seakan semakin kelam menyelimuti area yang dibatasi tiga sisi. Arah mata yang kerap terpaku tentang zona berpiagam militer. Tempat aroma darah yang selalu tercium di leher-leher para pemberani, sehingga bentuk betis perempuan tidak lagi menarik. Atau memang sudah perlu didatangkan pilihan. Wacana gerakan pemberotak harus segera kembali digelar. Melalui senapan mesin, atau pernyataan tidak takut mati di hadapan para pembunuh. Sebab sejatinya, aku belum benar-benar mencium bau kegagalan. Meskipun 840 senjata yang dilucuti telah ditukar dengan tiket pulang untuk 31.681 aparat, tapi simbol itu sepertinya sama sekali tidak berpengaruh.
Maka, biarkanlah aku berpura-pura tertidur dengan sebelah mata terbuka untuk saat ini. Anggaplah ini hanya sekedar ungkapan laknat dari mereka yang pernah terbunuh di barisan depan. Bagian dentuman hati yang terus menangis. Narasi dari patahan puisi jiwa yang membalut tatap-tatap mata yang penuh luka dan gelisah. Tapi coba perhatikanlah tentang cinta dan hidup yang pernah dirampas. Tentang kebohongan yang pantas dipatahkan. Sungguh, ada banyak sekali kepercayaan yang terang-terangan dikhianati. Terlebih tentang kedudukan dan materi.
Tidak perlu pula aku sebut, atau bertanya, siapa dia yang sekarang merasa dirinya raja? Ini yang selalu membuatku seolah-olah sedang bercerita tentang hal gaib. Aneh, dan tidak akan pernah diterima oleh akal sehat. Bagaimana mungkin, secara tiba-tiba, entah atas persetujuan siapa, bahkan tidak pula ada yang mengakuinya. Iblis telah menjadi raja dengan mengatasnamakan kehormatan bangsa. Entah aku yang terlalu buta untuk melihat kesejahteraan dari kehadirannya? Entah aku yang terlalu tuli untuk mendengar tangisan yang barangkali sudah menjadi tawa? Semoga aku tidak salah dengar. Di lubang telingaku, tangisan itu belum lekang menjerit!
Lalu bagaimana dengan kisah-kisah perjuangan? Aku masih berharap, setidaknya ada yang tidak palsu.  
Aku cukup sadar, bahwa ada bagian awal yang selama ini masih ditutup-tutupi, atau memang sengaja didiamkan. Kebohongan di antara dari lusinan perjuangan yang dulu pernah dibanggakan. Tidak lebih dari makna kesia-siaan, tatkala cinta dan amarah pernah terkumpul untuk membenci militer kiriman dari Jawa. Rasanya sangat menyakitkan, ketika mengenang dada mereka yang ditembus jutaan peluru Made in Bandung. Sepertinya juga akan semakin tolol, setiap meratapi kibaran warna bendera yang telah ditiru. Dibajak dengan menempel nama besar bangsa. Sangat berat, tapi aku sudah mulai berhasil membencinya.


Kolong Langit Bogor, 2016

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar