Bagian Jurnal Hari Itu

By Unknown - 4:03 am

Kembali aku mengenang. Siapa diri ini, dan ke mana jiwa ini harus mengalir? Ada artinya, aku lagi-lagi tidak pernah lepas dari dunia tulis menulis. Aku pernah membanggakan diri sebagai penulis. Akulah yang tidak pernah bisa melepaskan diri dari sesuatu yang membuatku pernah bertahan sebagai kuli tinta. Ada sebabnya, dan selalu ada alasan untuk setiap ceritaku. Ya, mungkin inilah tulisanku yang paling kaku, setelah ratusan hari tidak menulis di halaman word yang dulu sangat akrab dengan waktu-waktuku.
Gaya penulisan hingga kosa kata khasnya diri gila ini, sepertinya sudah banyak yang tumpul. Terakhir aku menulis sekitar bulan Oktober tahun lalu, setelah sebelumnya bulan Maret 2015. Sangat jauh renggangnya waktu yang aku punya. Padahal banyak yang bisa aku ciptakan di setiap malamnya. Pasti sudah ada ratusan bahkan ribuan karya yang seharusnya mampu mengabadikan sosok penuh keterbatasan ini. Meskipun sekedar beberapa bait puisi, tapi dari manisnya sastra ini pula aku pernah menghidupkan napasku.
Aku pernah bertahan hidup sebagai penyair. Rasanya miskin penuh ratap. Sengsara dan berbau keluh. Menangis setiap berdiri di pintu pasar. Berteman dengan sepi. Melolong kebencian. Memuja sunyi dan rasa. Serta menghakimi dunia seakan diri yang paling benar. Begitulah jatinya seorang penyair. Sebab naluri seorang penyair biasanya cenderung memihak terhadap derita, dan menikmati kesengsaraan sebagai seni. Rasa yang hidup adalah seninya, dan seni adalah bagian hidupnya.
***
Pagi sesaat sebelum merangkak menuju Jakarta di pertengahan tahun lalu, aku membaca banyak karya sastra, juga buku-buku tentang keadilan yang punah, dan sejarah yang sengaja dipudarkan. Aku menyimak sisi-sisi negeri ini yang kelam. Aku rasakan sendiri kebohongan-kebohongan yang terorganisir di setiap-setiap kantor berita. Sepanjang perjalanan dari Bandung ke Jakarta itu pula, aku ratapi kisah-kisah mereka yang dihakimi oknum yang menamakan diri sebagai wartawan. Termasuk keluhan orang yang duduk bersebelahan denganku di gerbong milik PT. KAI kala itu.
Ia punya pandangan tidak mengenakkan terhadap media beserta semua personilnya. Hingga aku bosan membela diri. Aku dibuat tidak semangat untuk memperjuangkan citra wartawan, setelah berulang kali menjelaskan tentang nasib jurnalis dan makna pers di negeri ini. Maka aku pun gagal bertahan dengan menyinggung UU Pers dan kode etik jurnalisme. Padahal berkali-kali pula aku tegaskan padanya, “Itu yang disebut oknum! Dan tidak disebut wartawan jika ia bersikap di luar UU dan kode etik!”
Intisari yang bisa aku rangkul saat itu hanyalah melupakan diri sebagai pemegang kartu pers yang dilengkapi logo media komersil. Mengkhilafkan diri dari semua kisah-kisah pahit, serta manisnya dan kerennya seorang wartawan. Aku resapi sisi negatif dari sikap jurnalistik yang cenderung berkesan kepo dan sok tahu setelah menganalisa segala hal. Walau secara nyatanya aku pun sadar, rasa ingin tahu yang besar itu pula yang perlu dipelihara. Teliti saat menganalisa objek itu juga wajib untuk dibudidayakan. Jurnalistik adalah ilmu yang bisa menyusup ke segala aspek pengetahuan. Benar kata kakekku, “Jika kau mau jadi orang pintar, jadilah wartawan!”
Aku boleh saja berbangga serta merasa sangat terdidik setelah menggeluti dunia jurnalistik. Tapi bukan berarti aku bisa bertahan lebih lama lagi untuk setia di bawah penindasan yang bersumber dari efek kolongmerasi media di negeri ini. Fenomena yang terang-terangan telah melahirkan ribuan kesesatan yang dianggap kekayaan intelektual seseorang. Bagiku ini adalah virus berbahaya, dan racun kebodohan yang memungkinkan dipuja oleh generasi-generasi setelah aku. Lagi pula, jalur jurnalistik tidak harus diabdikan untuk sebuah media massa yang selalu aku sesali untuk dipertanyakan, siapa dia yang ada di balik nama besar itu? Terlebih, saat aku harus terpaksa mengakuinya, bahwa kami juga pekerja yang berjuang layaknya kesibukan para buruh kantor dan pabrik.
Jadi teringat pada suatu magrib di Harmoni, tatkala berdiri penuh sesak di halte busway. Aku mencermati wajah-wajah lesuh para penghuni ibukota. Sungguh kasihan. Mereka terlihat sangat lelah. Mereka bertahan di bawah penindasan perusahaan yang semakin kaya dari keringat mereka. Mereka yang kerap mengeluh, namun masih saja bisa berbangga dengan id card yang menggelantung di lehernya. Padahal upah mereka per bulan bisa diperkirakan lebih kecil dari pedagang gorengan di dekat-dekat kantor mereka. Aku berpikir, diriku juga bagian dari mereka yang menzalimi dirinya untuk sebuah status sebagai pekerja. Dengan alasan terkonyol, bekerja agar tidak digolongkan pengangguran yang kerap bosan di awal pagi. Namun masih saja ada di hariku yang rasakan kejenuhan itu, meskipun bukan dalam status  pengangguran.
Maka setelah mengenang setiap resign dari satu per satu perusahaan yang pernah melibatkanku sebagai pegawai, kali ini aku beralih profesi yang tidak sema-mata untuk upah atau gaji bulanan. Aku bekerja demi sebuah nilai seni, dan karya yang aku tawarkan adalah kebanggaan dari jiwaku.
Dan inilah aku yang sengaja berkerigat sebagai seniman dan petualang. Aku bekerja untuk menghidupkan jiwa, sebab jiwa yang hidup akan selalu menghidupkan kehidupan.
–Aku telah melihat secara nyata di setiap kematian seorang seniman. Mereka tidak akan pernah berada di dalam kematian yang sepenuhnya, sebab jiwa mereka selalu hidup bersama napas seni yang abadi.
–Begitu pula dengan para petualang. Merekalah yang akan mampu menghidupkan kembali jiwa-jiwa yang telah dimatikan karena batas.
(*)


Kolong Langit, 2016 

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar

  1. Pulanglah, Nak. Jangan berdiri di pintu pasar kalau cuma untuk lap keringat. Hehehe... tetap semangat bang naz, resign untuk keputusan yang terbaik. Intinya kerja bukan pada berapa jumlah rupiah yang bisa kita kumpulkan tapi pada kenyamanan dan bahagia ketika menggelutinya. Semangat.....
    :>)

    ReplyDelete