Biarkan aku melihat
sudut-sudut kota yang dinistakan. Mencium aroma angur dari botol bekas, atau
menyaksikan wanita penggoda yang sedang sibuk di bawah kolong penyeberangan
kereta api. Dari sinilah, sisi lain yang setidaknya jiwa bebas menghibur. Meski di
ujung malam harus kembali menangis ketakutan. Kegelisahan memuncak, tatkala warna
bulan benar-benar liar mengamati langkah. Ratap yang kian kurus menahan dingin,
sesekali kaki tergerak untuk menendang sampah. Lengkap. Resahku berkomposisi
dengan rasa kecewa.
Kaos hitam sudah cukup mewakili. Setiap saat, kapan hari, dan entah ke mana angin akan membawa. Hitam adalah warna yang aku kenakan. Ungkapan yang kerap tak
disadari oleh manusia yang tidak waras. Aku selalu melihat kematian sepanjang
waktu. Di Bandung, Surabaya, Medan, dan Jakarta apalagi. Sepanjang trotoar dan
halte aku menemukan jiwa-jiwa yang ditelan kematian. Mulai dari mereka yang bekerja di gedung ber-AC,
hingga bocah yang teler setelah mengkonsumsi lem. Sial! Mengapa aku tidak
pernah bisa mencintai negeri ini?
Sosokku yang lebih akrab
dengan perjalanan, kian menyempurnakan rasa yang dipelihara kehidupan. Rasa duka
dan kecewa. Dia hadir sebab kematian, dan akan terus menemukan kehidupannya
hingga titik jiwa manusia yang terakhir hidup di bumi. Dentuman jiwaku tak pernah sanggup
untuk melawan. Benar-benar sial. Aku terlahir di negeri rekayasa para pecundang. Terlebih
lagi, aku sempat berkali-kali dipecundangi oleh mereka yang pernah aku ratapi.
Jiwa-jiwa yang mati secara permanen. Jalang, dan gelandangan di Kota Tua ada di
dalamnya. Preman berkedok asongan juga menjadi bagian daripadanya. Dasar manusia tanpa jiwa! Gerombolan anjing kurap yang barangkali lebih tahu diri. Kawanku, cukup anjing kurap saja. Anjing kurap yang setia.
Bogor, 2016
0 komentar