Mereka yang Pergi Sebelum Aku (Kita)

By Unknown - 3:01 pm

Dua hari lalu, aku dikejutkan berita kematian. Kiki meninggal dunia tiga hari berselang Idul Adha. Teman yang selalu sopan menolak tawaran kopi dariku. Orang yang tidak pernah mau ikut diajak makan sambal-sambal populer di kota ini. Dan rekan yang kerap terlihat tenang serta mudah tersenyum. Spontan aku terdiam. Tanpa bertanya lagi, Kiki mana yang meninggal? Namun tersirat, mengapa anak muda itu pergi begitu cepat?
Sekitar beberapa bulan lalu, terakhir kali kami bertemu. Kami duduk di tepi Jalan Banceuy membicarakan pekerjaan. Tentang pedapatan, serta bagaimana pengalamannya sebagai kontraktor alat-alat kesehatan. Tidak banyak yang disampaikannya, selain senyum-senyum seperti menutupi sesuatu. Hingga akhirnya kami pun beralih topik. Dia yang baru saja menikah, kemudian dikisahkan olehnya perjalanan cinta dengan wanita pendampingnya itu. Meskipun biasa-biasa saja, tapi cukup mengajariku tentang keberanian dan ketulusan cinta.
Aku yang diketahuinya hijrah dari Aceh, menjadi pembahasan kami selanjutnya. Mulai aku kisahkan tentang konflik, perang, agama, tsunami, politik, hingga ganja. Begitu tercengangnya ia dengan masa-masa rumit di sana. Sampai tak habis pikir, tingkahnya pun hanya sebagai pendengar budiman. Terkait penyakit, mulanya aku merasa lebih parah darinya. Lambung kami sensitif, namun tidak aku ketahui derita yang dialami Kiki ternyata melebihi dugaan. Kiki meninggal dunia karena penyakit lambung akut.
Belum juga satu jam berita Kiki berlalu, aku kembali disambar kabar duka lain. Pak Seno, seorang seniman yang kerap membahas masalah sosial dan politik agama denganku. Darinya pula aku mulai memahami tentang agama Kristen –riwayat Protestan dan Katolik. Mulai dari sejarah, peradaban, seni, budaya, sosial, konflik serta ideologi. Meskipun ia bergelar sarjana hukum, tapi kami hampir tidak pernah menyinggung tentang pidana maupun undang-undang. Mungkin beliau sadar, aku terlalu kritis untuk membandingkan hukum. Maka setiap pertemuan kami selalu diawali dengan obrolan seni, biasanya antara lukis atau sastra.
Kebetulan Pak Seno merupakan mualaf, kisahnya pada saat menjadi muslim sungguh sangat mengesankan. Begitu dramatis, berseni, serta terbilang scenario Tuhan yang paling mengagumkan. Katanya, perjalanan hidayahnya itu belum pernah diceritakan pada seorang pun. Dan aku sama sekali tidak menyadari, kisah tentang pengalaman terbaiknya itu pula yang menutupi obrolan dan pertemuan kami. Tepat subuh Idul Fitri lalu, Pak Seno dipanggil Yang Maha Kuasa.
Masih aku kenang betul, di suatu sore kami pernah berbincang mengenai bumi Palestina. Ci Elly, menerangkan tentang Palestinaversi Alkitab miliknya. Aku menjelaskan menurut sejarah Islam, Alquran dan hadist. Nyaris terjadi perdebatan, sebelum Pak Seno menyatukan kedua pendapat itu. Meskipun aku hampir tak terima, namun Ci Elly mengalihkan topik tentang sunni dan syiah. Aku yang cukup anti dengan syiah, secara berapi-api berkoar. Saat Ci Elly susah mengerti tentang Islam –termasuk istilah dan hukum–, dan Pak Seno yang meluruskannya.
Kabar Kiki dan Pak Seno memang bukan renung pertamaku tentang kehilangan di tanah rantau ini. Sebelumnya juga pernah datang kabar tentang kepergian Pak Beres Suniaraja, Rudi, Siska, Jamal, Rosnita, Erna, Uti, dan Albert. Merekalah para guru-guruku yang pergi sebelum aku, dan sebelum kita semua.
Alfatihah, semoga Allah mempertemukan kembali di tempat terbaikNya nanti. Amin.

Bandung, 09 Oktober 2015

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. terimakasih bos tentang infonya dan semoga bermanfaat

    ReplyDelete
  2. makasih bos tentang infonya dan salam sukses

    ReplyDelete