Tidak
seperti dulu, selalu kenyang selepas magrib. Dua potong cireng, dan hanya beberapa
potong kue yang ditambur jagung dalam gulungan lumpia. Menu seperti itu seakan
sudah cukup, sebab tubuh terlalu sesak dengan angan-angan. Aku berandai jika
saja pulang kampung sebelum ramadan tiba. Ah, pasti akan terasa seperti
pangeran, atau setidaknya menjadi tuan di rumah sendiri.
Pemandangan
di halaman rumah magrib ini, dihias sejumlah motor. Entah milik siapa, aku rasa
sudah resiko tinggal di pusat kota. Semua pemilik kendaraan menganggap halaman
rumah tanpa pagar ini sebagai area parkir gratis. Meskipun keberatan, namun tidak
mungkin bisa mengelak bila sudah berdiri motor yang tidak dikenali pemiliknya.
Tidak
lama setelah berbuka puasa, kau pun pulang dengan mobil kesayanganmu. Bagaimana
pula harus aku katakan? Sedangkan motor-motor yang berdiri di halaman rumah
kita sudah ada begitu aku keluar. Tidak juga bisa aku jelaskan, semua kendaraan
itu diparkir oleh pemiliknya yang benar-benar tidak aku kenali.
“Motor
siapa? Pindahi, dong!” teriakmu begitu membuka jendela. Padahal di saat yang
sama, kau pun pasti tahu, aku sedang merapikan parkiran motor-motor itu. Tentu
saja supaya memudahkanmu untuk memasukan mobil ke garasi.
Tanpa
peduli serumit apa aku memindahkan motor yang dikunci cakram dan stangnya, kau
tidak menghadiahkanku apapun. Jangankan kata terima kasih, seuntai senyum pun
tidak pernah aku temukan. Biarpun begitu, aku tetap setia melakukan perawatan
pada mobilmu dua bulan sekali.
Ya,
kau bisa beristirahat sekarang, aku juga tidak akan membebanimu untuk harus
berbalas budi. Hanya saja muncul pertanyaan, nyaris serupa seperti yang kau
tanyakan tatkala kepedulianku memenuhi hari-harimu. Kau ingat? Pertanyaan yang
kau utarakan sebelum kita bergegas menjalankan tugas sebagai reporter berita.
“Emangnya
gua istri lu?”
Aku
hanya cengir, dan tidak menjawab apa-apa. Padahal waktu itu, aku hanya
berkomentar tentang make up wajahmu yang ketebalan. Dan sekarang, apakah kau
mampu menjawab? Bila saja aku tanyakan hal yang hampir serupa tersebut padamu. Setelah
aku benar-benar sudah resmi menjabat sebagai kepala keluarga di rumah kita.
“Wahai istriku, apakah aku suamimu?”
Bandung, 03 Juli 2014
3 komentar
Hufft..dalam. :)
ReplyDeleteHuff, terlanjur nyelam. (m)
DeleteKelelep.. :-s
Delete