Dari lembah kosong yang dianggap tak bernyawa, aku menompang dari sudut kejenuhan yang menahun. Hingga hilang yang telah mencairkanku, dan tak
lagi ditemukan tajuk kematian setelah dikisahkan. Hanya saja, kalian pasti butuh
hakim yang tepat untuk pertimbangan. Antara iblis dan malaikat, juga Tuhan yang
selalu mengawasi. Seberingas kau yang terus menguliti ketidaksempurnaanmu. Maka
aku datang, atau lebih tepatnnya menonton dari sudut jengah kronisku. Bukan mengawasi,
karena aku bukan Tuhan.
***
Telapak legam yang hilang disapu geliat kuasa, antara nafsu
dan ketidakmampuan. Mahkota itu tumbuh dari semesta yang mendukung. Sangat agung
yang diragukan, sedikit aneh firasatku, tatkala disamakan dengan Tuhan. Apalagi
desahan jalang yang mengantarkan sayu pada kenikmatan dewa: sepulang dari kantor,
atau setelah menelan butir ratapan. Bersama lubang gelap yang ditembus sebatang
pekat, pada sebiji yang menggontai nafsu dalam gerakan sederhana. Tak laku diumpamakan
malaikat yang berbaring di pangkuan iblis. Maka kejenuhanku pun memupuk, serta berkembang
seperti benih bintik kerakusan rahang serigala.
Ada rintihan yang timbul, bersama cercaan buas yang tak
pernah puas. Aku mengipaskan sayap, cukup cemas dibakar terik. Dicakar-cakar
perih, kemudian tikaman mematikan. Ada pula yang menganggapku benar-benar mati, bahkan setia
menanti hingga rengkarnasi. Meskipun dihabisi, enggan dilewati, tak sekeras
kalutan pahit yang mesti dihadapi. Aku mulai membayangkan isi neraka, setelah sekian lama mendambakan surga. Namun tak cukup terang, di balik remang cahaya yang
kerapkali padam. Bukan aku, kenapa kau yang menyimpan dendam? Jangan menggeleng
sebelum menjawab. Aku tidak suka itu! Aroma bangsal kejiwaan. Cengeng! Tikus! Reptil buduk! Akan kucerca kau! Mampus.
***
Hei! Mengapa kau menutup mata? Saat aku menyantunimu dengan pertengkaran hebat yang di ruang tamu. Kau tak mesti resahkan anak-anak harammu
meniru perbuatan itu. Seperti yang sering kau jeritkan pada langit-langit kamar
tidurmu. Kala kau meraba-raba kosong, mencoba mencari sudut ranjang yang tak pernah kau temui,
hingga kesekiankalinya harus menahan nikmat. Padahal menarik! Dan, kenapa lagi-lagi
kau menutup mata? Bahkan menyembunyikan kenahasan dari padangan suci anak-anakmu, tentang sepucuk diri peristiwa silam.
Ya, tidak harus juga diakui, memang tidak sesuci siku tajam
di paras para tetangga. Setidaknya, kau sudah lebih terbiasa, tak lagi dielu-elukan bangga.
Eh, jangan salahkan aku yang kian memerintah, kecuali kesekian jiwamu yang membahak tak sabaran.
Sekonyol yang kau dapat, setelah dihadiahkan patah hati. Nah, kau kini tergelak
sendiri. Sepertinya mulai meniti tangga rapuh di ujung mata cakrawala. Tetapi aku
sama sekali tidak protes. Hanya diam, serta meyakinimu, bahwa yang seharusnya dicapai
adalah kematian. Sebab hanya itu yang benar-benar datang. Tanpa harus menyuratkan
janji terlebih dahulu. Seperti saat ingin bertemu dengan presiden.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” Suara manis itu
kembali terdengar di halaman depan.
Hallo! Dia menyapamu dengan bagian lutut terbuka! Hajar! Hancurkan
dia! Seruku ini tak kalah gemetar, seperti buai rona warna yang terdapat pada dasi
suamimu. Atau sirip yang melekat pada bintang di dalam akuarium, juga di laboratorium
milik negara. Saat-saat kau masih mengenakan seragam sekolah, hingga yang kau kenang dibakar usia
paling ceria. Menurutmu, apakah aku pantas dimeriahkan di tempat gelap? Itu tidak
enak, aku kerap berjumpa dengan iblis sungguhan. Batapa pengapnya aroma yang
dibawanya. Oh, aku menyempitkan diri, sembari memasamkan wajah, dan tak harap menjelma dari setetes liur.
“Iya, Nona. Mari kita bicara empat mata. Di sana, di ruang
itu." Katamu seraya menoleh ke sekeliling, "Mumpung masih pagi, dan belum ada yang datang."
“Baik, Nyonya. Kebetulan memang hanya ada saya dan Nyonya.” Ia berkata dengan santun, dan selalu membuat lawan bicaranya menelan ludah. Kecuali kau dan aku, kita sama kebelet dahak.
Aduh! Dasar tolol! Atas lantas apa, aku tak kalian anggap! Sudahlah, aku
memang tidak mengerti, dengan gambaran bibirmu yang mendadak mengembang. Mengikuti
permukaan pipi wanita itu yang pernah menyirat hatimu, lesung kembarnya sangat manis, setiap kau membatin. Apa kau ingat?
Hah?
Ah, sudah kuduga! Kau pasti belum mendengar desahannya, saat kau
tidak ada. Lebih manis dari itu! Hanya ada dia, dan suamimu. Juga aku, serta iblis-iblis yang membuat ruang
kerja ayah anak-anakmu ini semakin pengap. Ayo! Kipaskan lima jemari lentikmu, tindih
bedak tebal pada raut sintalnya itu!
Dengar...! Cekik! Terus simak hingga ia lupa merintih. Tetapi
jangan pernah sesekalipun, kau mendengar kata ampun dari tenggorokannya jeda. Sebelum
aku kembali menyium aroma bangsal kejiwaan. Hangat! Sangat merayu, pasti akan lebih
amis dari darah bunga di bangku sekolah dulu....
Biadap! Jangan lagi jebak aku!
-cacat
di jiwa-
[]
Bandung, 18 Maret 2014
6 Komentar
Sastra banget.. Bagus zri
BalasHapussepertinya sang tokoh sangat misterius.
ya ya, memang mau lebih ke sastra. Biar tahan lama. :d
HapusAku butuh berulang kali baca untuk bisa ngerti.
BalasHapusNah, ini yang aku tunggu. Berarti penyampaiannya harus lebih jelas lagi ya way?
HapusDari "Hei! Mengapa kau menutup mata? Saat aku menyantunimu dengan pertengkaran...dst" di imajisi ada nangkap? Soalnya, itu dia yang pingin aku tau, nyaman dibaca apa gak?
Langsung-langsung aja way, biar enak diperbaiki. :-d
omak baru lihat ada balasan. Aku jarang kali mampir ke blog ini.
HapusUda bagus yi. maksud komen aku itu, tulisan kau uda tingkat atas. Pembaca memang dituntut cerdas, karena karya kau cerdas.
Hahaha, aku baca lagi pun kayaknya emang kurang bagus tema besarnya. Ubah lagilah..
Hapus:d