Apa
yang sedang kau pikirkan? Mengira ini cerita bualan? Atau hanya sekedar
ungkapan kecewa dari resah-resahku yang bergentangan di balik selimutmu? Bukan, ini tidak tentang perasaan sakit hati, juga bukan mengenai dirimu yang memuakkan
itu. Sudah lama aku menghindar, setelah sekiankalinya dimakan malam-malamku. Sekarang,
aku hanya ingin kau mengeja, bagaimana luka ini bisa tidak terasa lagi, tak
juga membantai senyum hangatku, dan terasa kebas untuk semua pilu yang membelai.
***
Agustus 2009
Malam
itu, terlalu aku berharap selama liburan di tanah kelahiranku. Tidak seperti pada tahun lalu, kali ini aku
mengira akan menemukanmu yang lebih nyata. Dalam pertarungan letih
perpulanganku, kini bersama lelah itu aku coba menggapai harapan. Cantik, kata
itu terus terucap dari bibirku. Binar bola mata yang menghanyutkan, dan untuk
pertama kali terucap tentangmu dari lidahku yang kasar. Lebih begis dari garam
yang ditabur di atas permukaan es batangan di tempat penampungan ikan pinggir
pasar.
Debu
jalanan seakan mengikuti jejak kebahagian yang peroleh. Di mana-mana, berbagai
sudut seolah ikut menari seiring bayangan yang menebar warna berbeda. Ini nyata,
aku menemukanmu dari gelap yang membalut. Aku bahagia, pada semesta, aku tak
ingin berlama-lama memendam. Sudah di batas akhir, tidak mungkin lagi menanti,
semua manusia pasti pernah merasa. Tidak pernah pula, bisa dijelaskan secara
detail, jelas, apalagi mudah dimengerti oleh orang belum pernah merasakan. Sungguh,
aku merasakan kehadiranmu, wahai cinta. Ah, sungguh, aku benar-benar tak mampu
membendung. Kau begitu indah untuk dikabarkan pada semesta.
Bersama
rona yang kau hadirkan pada gadis itu, aku semakin tenggelam di dalam gelap
malam. Di antara riuh-riuh kota yang sedikit lebih besar dari sisa ruang di
hatiku. Benar-benar indah, tidak mungkin aku katakan buruk. Setidaknya selama
kau masih didera iba pada diriku yang tak mempunyai filosofi tentangmu. Aku masih
memuja kekuatan semesta seperti sekarang, sebelum kau lupakan semua itu dalam
takdir Tuhan. Aku berhasil merasakan cinta. Bagiku itu hebat. Setidaknya sukses
menjadi manusia seutuhnya.
***
Februari 2007
Aku
menemukan secangkir kehidupan pada malam yang panjang. Setelah usai kisah yang
kian memuakkan, dan tak pernah tercapai. Begitu pula di akhir bagian ini, belum
kutemukan kesempurnaan semesta yang lebih dalam daripada lembah kesia-siaan. Sama
seperti halnya hilang bayangan bersama cahaya redup yang kian tak terlihat. Melewati
malam, merangkai kata, saat itulah kata-kata bual sejenak memainkan rasioku.
Kau
datang, bagaikan cakrawala yang merindukan fajar dikutuk gerhana matahari. Namun,
tidak meninggalkan luka. Aku tersenyum mengenangnya. Sungguh, kau begitu dasyat
mempermainkanku hingga menahun. Sempurna untuk sebuah harap, tanpa pencapaian
yang aku terima. Terima kasih cinta. Pesona itu pernah datang memelukku yang
gersang.
***
Agustus 2005
Tanpa
kesadarakan yang lebih bermakna, kau datang begitu saja tanpa diundang. Ya,
nyaris serupa dengan cerita ala telenovela. Tiba-tiba, kemudian mendekap rindu
yang bergentangan. Berkali-kali dikoyak, tapi tak begitu berarti. Aku belum menyerah.
Aku mengejar bayang yang sebenarnya tak pernah ada. Aku menamakanmu utopia. Cocok,
tentu kau harus mengakuinya juga. Kau pasti hadir di waktu itu. Sama seperti di
ruang sempit yang pernah sesak tragedi. Aku menyantuni kehampaan, meski
berulangkali tak tercapai juga.
Setelah
sekian terlalui, perlahan, mulai aku lupakan. Apalagi ketika keindahan itu bisa
aku rasakan dari lubang ketidaknyamanan. Sebagai seorang yang bisa menilai,
tentu aku mampu memberi angka. Ini bukan perasaan kecewa. Tetapi aku bisa
mengabarkan jumlah yang layak yang luangkan. Persis detik yang mengintai hari,
kau bisa menambahkan sendiri semaumu. Sebab, memang aku bisa lebih peduli
tentangmu.
***
Sekarang
Sebenarnya
ada semua bulan, dan berselang tahun. Ada banyak sela yang bisa aku ceritakan
secara samar. Namun aku lelah, seperti malam ini, aku tak ingin menulis
tentangmu lebih parah, atau kau akan merasa seperti embun yang kau kira aku rindukan.
Sebenarnya,
aku lebih mendambakan debu. Kau tahu? Ah, percuma, sebelumnya juga sudah pernah
kurangkai. Kau pasti paham. Aku menunggunya. Pasti kau kenal. Ya, besok aku
coba datang. Setelah semuanya selesai aku kerjakan. Banyak, sebab aku tak ingin
terlihat pecundang, walau sejauh ini bisa dikategorikan jiwa ini adalah kuat.
Setidaknya
untuk sebuah keberanian, meskipun harus aku korbankan banyak kisah yang disembunyikan.
Semoga kau yang menghubungkanku dengan Tuhan lebih menghargai perjuanganku. Selamat
pagi semesta, syukurku mendambakan cahaya.
Bandung, 26 Maret 2014
0 Komentar