Mimpi Basah di Atas Kasur Tipis


Hujan turun sejak malam sebelumnya. Deras, lama, dan seperti biasa—mengabaikan pembangunan yang setengah hati. Di sebuah rumah subsidi di pinggiran kota, seorang pria bernama Rafi terbangun di tengah malam. Bukan karena mimpi tentang wanita, bukan pula karena mimpi yang menggoda. Tapi karena air hujan menetes dari atap langsung ke selangkangnya.

Kasur busa murah itu sudah menyerap lebih banyak air daripada empati dari kementerian perumahan. Di atasnya, tubuh Rafi menggigil, bukan karena hawa dingin semata, tapi karena kemiskinan yang dilapisi KPR 20 tahun.

“Mimpi basah lagi, Mas?” istrinya bertanya setengah geli, setengah iba.
“Bukan, Sayang. Ini realita yang selalu basah.”
Jawabannya getir. Selucu-lucunya mereka tertawa, tak satu pun ember cukup besar untuk menampung rasa lelah.

Rumah mereka dibeli lewat program Subsidi Sejuta Rumah—program pemerintah yang katanya pro-rakyat, tapi terasa seperti beli ilusi dengan DP ringan. Dindingnya retak bahkan sebelum keluarga itu sempat merayakan satu bulan tinggal. Gentengnya longgar. Saluran airnya mampet. Dan taman kecil di depan rumah kini berubah jadi kolam ikan tak diundang setiap musim hujan datang.

“Katanya rumah layak huni,” gumam Rafi.
“Yang layak itu brosurnya, bukan rumahnya,” timpal Fitri, istrinya, sambil memindahkan baskom ke titik tetesan baru.

Rafi bekerja sebagai satpam di kompleks mewah sebelah. Setiap pagi, ia melihat rumah-rumah besar dengan garasi dua mobil dan dapur luar negeri. Tapi tiap malam, ia pulang ke rumahnya sendiri—yang hanya punya satu kamar dan dapur yang lebih cocok disebut sudut masak.

Ironisnya, ia harus menjaga perumahan elit, sementara rumahnya sendiri tak pernah merasa aman dari hujan dan cicilan. Dunia memang adil, tapi tidak untuk semua.

Konflik mulai menggerogoti lebih dari dinding rumah. Tetangga mulai mencurigai Rafi menyabot atap agar bisa viral dan mendapat bantuan. Ketua RT-nya mengeluh karena laporan warga soal bau lembap. Dan petugas kelurahan datang, bukan untuk membantu, tapi untuk mendata ulang kependudukan—lagi.

Di sisi lain, Rafi mulai mendengar gosip di pos ronda: ada oknum pengembang yang kabarnya memakai bahan bekas untuk menekan biaya.
“Yang penting diserahkan ke negara, urusan tahan lama atau tidak... itu bonus,” kata Pak Udin, tetangga yang rumahnya kini miring setengah derajat.

Tapi siapa yang peduli? Pemerintah sibuk membanggakan angka. Media sibuk mengabarkan penyerahan kunci simbolik.
Tak ada kamera yang tertuju pada genteng bocor atau lemari lapuk.

Di malam berikutnya, Rafi kembali terlelap.
Lagi-lagi basah. Lagi-lagi dingin. Tapi kali ini, ia tidak bangun. Ia biarkan air meresap sampai ke tulang. Mungkin dengan begitu, ia bisa bermimpi hidup di rumah yang benar-benar rumah.
Bukan bangunan subsidi yang dibangun cepat-cepat dan ditinggalkan seperti anak haram proyek negara.


Jakarta, 2024

Posting Komentar

0 Komentar