Hujan turun sejak malam sebelumnya. Deras, lama, dan seperti biasa—mengabaikan pembangunan yang setengah hati. Di sebuah rumah subsidi di pinggiran kota, seorang pria bernama Rafi terbangun di tengah malam. Bukan karena mimpi tentang wanita, bukan pula karena mimpi yang menggoda. Tapi karena air hujan menetes dari atap langsung ke selangkangnya.
Kasur busa murah itu sudah menyerap lebih
banyak air daripada empati dari kementerian perumahan. Di atasnya, tubuh Rafi
menggigil, bukan karena hawa dingin semata, tapi karena kemiskinan yang dilapisi KPR 20 tahun.
Rumah mereka dibeli lewat program Subsidi Sejuta Rumah—program pemerintah yang
katanya pro-rakyat, tapi terasa seperti beli ilusi dengan DP ringan. Dindingnya
retak bahkan sebelum keluarga itu sempat merayakan satu bulan tinggal.
Gentengnya longgar. Saluran airnya mampet. Dan taman kecil di depan rumah kini
berubah jadi kolam ikan tak diundang setiap musim hujan datang.
Rafi bekerja sebagai satpam di kompleks mewah
sebelah. Setiap pagi, ia melihat rumah-rumah besar dengan garasi dua mobil dan
dapur luar negeri. Tapi tiap malam, ia pulang ke rumahnya sendiri—yang hanya
punya satu kamar dan dapur yang lebih cocok disebut sudut masak.
Ironisnya, ia harus menjaga perumahan elit,
sementara rumahnya sendiri tak pernah merasa aman dari hujan dan cicilan. Dunia memang adil, tapi tidak untuk semua.
Konflik mulai menggerogoti lebih dari dinding
rumah. Tetangga mulai mencurigai Rafi menyabot atap agar bisa viral dan
mendapat bantuan. Ketua RT-nya mengeluh karena laporan warga soal bau lembap.
Dan petugas kelurahan datang, bukan untuk membantu, tapi untuk mendata ulang
kependudukan—lagi.
0 Komentar