Kopi Bersastra Rasa Beku

Semalam aku bertemu kembali dengannya. Seseorang yang sempat membuatku gemetar tak karuan. Iya, pertama kali kami berjumpa, sepulangnya aku dari bazar buku di Landmark, Jalan Braga, Kota Bandung. Saat itu sedang ada Raditya Dika di acara itu. Maka aku segera keluar dari ruangan, sebelum para fansnya mengerumuni. Pusing! Aku yang mendadak diutus oleh atasan tempatku bekerja untuk hadir ke sana. Tidak tangung, dari pagi, dalam hujan lebat, dan waktu Dika jumpa fans menjelang pukul 14.00 WIB. Jelas, perutku keroncongan.
Sebuah kafe yang sejak  pertama ada sudah jadi langgananku, kebetulan ada di seberang jalan. Setelah mengisi lambung dengan soto ayam Madura di angkringan, aku bergegas ke tempat paporit abdi --ketularan Sunda, nggak bisa bilang F-V. Padahal yang baru aku telan adalah soto Madura. Mungkin sebab interaksi dengan penjualnya, aku memakai bahasa Sunda--. Nah, tidak lama setelah duduk, dan baru membaca setengah buku yang aku bawa dari acara bazar. Tiba-tiba gadis itu datang dengan kostum paling keren menurutku. Parasnya seleraku banget, apalagi gayanya yang cukup membuatku kagum. Sumpah, secara tidak sengaja buku yang aku baca berganti halaman tanpa kueja.
Cukup lama dalam posisi antara membaca dan melirik ke seberang meja. Tidak bisa aku mengelak, berkali-kali pula ia mengipaskan pandangan ke arahku. Terkadang, aku dalam posisi membaca pun sadar, gadis itu mencerminkan bola matanya ke posisiku. Nahas, tatkala temanku yang bekerja di kafe tersebut memanggil namaku. Sempat aku menoleh sambil menyapu penglihatan ke arah gadis itu, secara spontan pula geriknya mengalihkan pandangan.
“Zri! Kok sendiri aja? Mana yang lain?” teriak temanku yang berdiri tepat di depannya.
“Kerjalah!” jawabku singkat, bertingkah sok cool.
“Eh, baca kok sendiri-sendiri, gabung dong!” teriak temanku lagi, tapi sambil menunjukkan alis ke arah gadis tersebut.
Spontan aku salah tingkah, begitu juga dengannya. Maka hari itu, kami berdua tidak saling sapa, hingga beberapa jam duduk sambil membaca dan curi-curi pandang. Dan akhirnya, aku benar-benar kebelet tak sanggup lagi menahan. Maka aku pamit, dan pulang setelah membayar minuman yang aku pesan, yakni VD.
Ketika aku membayar di meja kasir, tak sengaja, lagi-lagi aku menangkapnya sedang memperhatikanku.
***
Tadi malam, sekitar pukul 20.00 WIB, seperti biasa aku nongkrong di kafe tersebut. Tak lama, gadis yang dulu pernah membuatku salah tingkah turut hadir setelah beberapa saat aku duduk. Kali ini, aku lupa membawa buku. Soalnya memang niatnya mau cari liputan berita, tapi malah terjebak malas, dan ingin nangkring.
Tepat di tempat yang sama seperti kemarin, dengan posisi tidak beda, serta kejadian saling lirik juga tak ubah. Lebih dari sebelumnya, hingga aku tak sabar untuk menyapa. Namun sayang, hal tersebut malah membuatku kebelet ingin ke toilet. Sial, aku semakin merasakan hal yang sama, saat beberapa kali memergokinya sedang menatapku. Lagi-lagi, memang bukan perkara mudah bagiku berhadapan dengan seorang gadis. Apalagi ia yang membuatku kagum-kagum berirama.
Dalam perasaan bimbang setengah didesak hasrat untuk buang air, aku semakin resah. Kusaksikan nyala api dari tangannya, juga secangkir Vietnam Drip di hadapannya. Sungguh, dari asap yang melayang di udara, aroma kopi kami menyatu di langit-langit kafe. Jika bukan karena kopi itu sastra, tidak mungkin perasaan ini kambuh untuk jemarinya yang indah. Aku mulai memuja kopi yang tidak berbeda dari kami berdua. Membawaku terbang menemuinya di jalan yang sama. 
Hingga hampir satu jam di posisi seperti tak berubah, mendadak handphone berdering pertanda SMS masuk. Dari temanku yang baru sampai di Bandung, dari Indramayu. Maka aku membalas, untuk segera ke kafe tempat biasanya aku nangkring. SMS balasan selanjutnya pun memberi kabar padaku, OTW.
Hanya beberapa menit, tidak sampai dalam hitungan sepuluh. Temanku yang dari Indramayu tiba di kafe. Mereka datang berdua, kedua-duanya juga terpesona terhadap gadis itu. Aku sedikit lesu, juga dia yang kemudian langsung bangkit, dan mendatangi meja kasir. Sekali lagi, kami terpisah dengan rasa yang membeku. Atau barangkali, hanya aku yang rasakan begitu. 
Bisa jadi, imajinasiku terlalu jauh tentang semua ini... Entahlah, aku ingin kita tidak berpisah meja lagi. Sebab akan banyak cerita yang bisa kita bagi, salah satunya tentang buku karangan Ayu Utami yang kau baca kemarin malam..  


Bandung, 16 Maret 2014 

Posting Komentar

0 Komentar