Seusai salat zuhur, tiba-tiba aku teringat dengan
rapat di rumcay. Segera aku bergegas dengan mengambil piring dan makan siang.
Seraya mengunyah, rasioku mulai menerawang ke depan. Siapa yang akan hadir di
rumcay siang ini. Alangkah mulianya jika aku mengajak Reza untuk datang bareng
ke sana. Daripada nanti nggak ada orang, ujung-ujungnya aku terpaksa nonton
chanel TV negeri antah berantah di warkop depan lorong. (kejadian itu acapkali
menimpaku di kala datang piket harian rumcay).
“Woi, pat kah? Tajak rumcay yak,”
“Pu but? Peuna?”
“Rapat,”
“Omaa, lon teungoh kukerja. Kiban cara?”
“Okelah, lon kujak sidroe mantoeng,”
Ya, bisa dimaklumi, hal serupa sudah sering terjadi.
Maka pada saat itu aku datang ke sana dengan seorang diri. Awalnya aku sibuk
menyiapkan ransel, jaket tebal, obat-obatan, perlengkapan mandi dan kayu bakar.
Firasatku mengutarakan bahwa di perjalanan nanti akan datang badai salju yang
membawaku nyasar ke Antartika.
Tetapi setelah dipikir-pikir hingga berjam-jam, itu
semua hanya alibi keterlambatanku. Sesampainya di sana, Bang Ferhat dan Aslan
langsung menyerahkan tugas mencetak spanduk padaku. Maka dengan penuh tanggung
jawab, aku menunggu Aslan hingga selesai mendesainnya.
Di sela-sela Aslan menanyakan pendapat tentang
desain, aku dengan semangatnya bercerita. Ini ibu Budi, itu bapak Budi, di sana
adik Budi, di sana kakak Budi dan Budi belum lahir. Eh, si Aslan menujukan
hasil kreatifnya.
“Gimana Bang? Bisa gini?”
“Ini kurang, itu bagusnya gini,” sautku sok serius sambil
mengarahkan jari ke LCD.
Tidak lama, Aslan melanjutkan lagi kemampuannya.
Belum juga aku bercerita tentang kelahiran Budi. Eh, si Aslan sudah menanyakan
lagi pendapatku mengenai hasilnya.
“Wah, masih kurang Lan, warnanya kurang cocok tu,”
Aslan hanya diam dengan penuh ketabahan. Aku pun
mulai bercerita lagi tentang Budi dari pertama. Namun baru menyebut “Ini..” aku
terpaksa berhenti ngoceh ketika melihat Aslan mengobok-obok warna gambar di
layar komputer. Hijau, biru, ungu, kuning, biru lagi dan berujung merah. Layar
memantulkan cahaya dari warna tersebut, dan akhirnya menjadi belang seperti
kulit harimau.
“Aslan! Kita tidak membuat acara untuk pelestarian
badak Jawa. Itu lihat! Warnanya jadi seperti kulit anak kuda Nil,” teriakku
menngagetkan Aslan.
“Itu bukan kuda Nil, Bang! Aslan teringat dengan
nasib Jack si orang utan. Kenapa Abang tidak mengerti?” saut Aslan yang sudah
mempunyai firasat buruk tentang kematian Jack kemarin.
“Ya sudah, diam. Terserah Aslan aja lah. Tapi Abang
lebih setuju kayak yang paling pertama tadi,”
Aslan tidak berkata apa-apa lagi, ia masih antusias
dengan pilihannya. Mengingat itu, aku menjadi merasa bersalah pada Jack. Karena
pada akhirnya Aslan mengubah warna spanduk seperti yang pertama, hijau yang
dipadu dengan beberapa warna lainnya.
Setelah spanduk selesai didesain, kini giliranku
yang mencetaknya. Pikiranku langsung tertuju pada Reza, karena ia juga paling
mahir soal beginian. Maka pada sore itu, aku menelpon Reza yang sudah
berkali-kali tidak balas SMS.
“Pat Kah?”
“Nyoe ban teubit kerja, kiban? Peuna?”
“Kajak Rumcay jeut? Ta cetak spanduk siat,”
“Oh jeut, kapreh sinan,”
Aku dan Aslan menunggu Reza sambil mengamati
semut-semut yang bercanda di halaman Rumcay. Alangkah narsisnya mereka ketika
sadar kami memperhatikannya. Salah satu semut berteriak minta difoto, ada yang sok
nyanyi lagu Eminem dan ada juga yang main biola meniru Clarissa Tamara. Tapi tiba-tiba
aku pingin muntah batu nisan melihat sepasang semut bergombal alay sok
romantis. Huaaaek..! Alayer juga tumbuh subur di bangsa mereka.
Tidak lama setelah itu, Aslan mengajak pulang karena
mau magrib. Maka aku menelpon Reza kembali.
“Woi, bek kajak U Rumcay, ka preh di rumoh
mantoeng,”
Reza pun mengiyakannya. Kami kembali ke kediaman
masing-masing. Eh, tidak! Aslan yang pulang ke rumah, aku mengeber motor menuju
kosnya Reza. Di perjalanan azan magrib mengharuskanku untuk singgah ke masjid
terdekat. Setelah salat baru aku melanjutkan kembali mengukur jalan dari masjid
Lingke menuju istana kebanggaan Reza.
Setibanya di sana, terlihat Reza sedang pulas
tertidur. Aku dengan spontan melayangkan gulungan kain ke punggungnya. Ia
terhentak mencari pintu keluar. Sepertinya, ia sedang tersesat di lintasan
Dakar.
“Ka beudoeh! Yak tajak cetak spanduk,”
“Jeut, ka preh ilee siat. Ku sembayang meugreb,”
Kemudian seusai Reza salat, kami pun bergegas menuju
galeri tempat mencetak spanduk. Di jalan, aku mendengar keramaian yang berasal
dari lambungku. Maka kami memustuskan untuk singgah di warung untuk makan
malam.
Di saat menelan sesuap nasi, tiba-tiba pahaku terasa
bergetar. Wah, handphone bututku berdering ada SMS masuk. Aku pun membukanya
sangat dengan hati-hati. Jangan-jangan SMS mama minta pulsa. Oh, ternyata nama
Aslan yang muncul sebagai pengirimnya. Hatiku lega sambil berteriak kegirangan
enggak jelas. (aku paling benci dengan sms mama minta pulsa, soalnya kata
mamaku, ia tidak minta apa-apa dariku selain ijazah sarjana. Kawan, ini tentang
harga diri,)
“Bang, ke Haba ya. Ada Bang Ferhat dan Bang Doni di
sana,”
“Oke, OTW!”
Kami segera meninggalkan warung Mama Nasi. Hujan
bukan halangan untuk bisa sampai ke sana, walaupun mataku menjadi korban
kekerasan rinai di malam itu. Dalam hati, aku berniat akan menuntutnya besok
pada lembaga pelestarian habitat satwa. Namun ia keburu reda setibanya kami di
depan stadion H. Murtala Lampineung. Maka kami pun selamat hingga Haba Kupi.
Di sana sudah nangkring dua orang pemuda yang dikatakan
Aslan tadi di SMS. Dari kedua manusia yang kukenal tersebut, salah satunya
langsung berbisik pelan di telingaku.
“Wak, lihat ke arah jam 4,”
“Hahaha, pasti itu anak SMA alay,”
Aku dan Doni mulai tenggelam dalam acara ngerumpi
seperti ibu-ibu arisan. Bang Ferhat semakin asyik dengan blog pujaannya.
Sedangkan Reza terus cenat-cenut sambil menggenggam Android kebanggaannya. Entah
berapa lama dengan keadaan demikian, Aslan datang meramaikan suasana.
Kami pun mulai membahas tentang workshop Gol A Gong.
Mulanya pembahasan mengenai kursi dan tataletak
di aula Syariah. Kemudian konsumsi yang dibintangi oleh Riri, Siti dkk,.
Lalu entah kenapa bisa bergulir ke masalah spanduk. Bang Ferhat pun dengan
tegas memainkan wewenangnya sebagai tuha peut.
“Jadi ngapain kalian ke sini? Cepat selesaikan tugas
kalian sekarang!” bentak Bang Ferhat menyulap riuh warkop menjadi hening.
“Iya Bang, niatnya tadi memang mau cetak spanduk,”
sautku mengembalikan suasana warkop menjadi normal.
“Sudah, cepat!”
Tidak tunggu lama, aku dan Reza segera menuju area
parkir dengan penuh waspada untuk mengindari paparazzi di meja kasir. Tidak
sadar, ternyata di luar hujan turun dengan deras dari tadi. Namun demi tanggung
jawab, kami bulatkan tekad untuk tetap berjuang mencetak spanduk di malam itu
juga. Allahu Akbar!!
Setelah mutar-mutar kota Banda Aceh hingga pukul
11.30 lewat. Akhirnya kami menemukan sebuah galeri yang masih buka di jam larut
malam. Hanya menunggu sekitar 20 menit setelah menyerahkan flash disc pinjaman
dari Nuurul pada Abang penjaga toko, spanduk selesai dicetak dengan sempurna.
Horeee!
Bersambung
ke hari jum’at sebelum acara...
02.35
wib
Banda
Aceh,09 Mei 2013
0 komentar