Papua dan Republik Keadilan Rasa Asin

Di negeri ini, kadang lucu juga kalau bicara keadilan.

Ia seperti WiFi gratis di ruang publik: disebut ada, tapi sinyalnya putus-putus.
Terutama kalau kamu tinggal jauh dari ibu kota, misalnya di satu ujung pulau yang tanahnya kaya, tapi warganya dianggap miskin karena tak punya akun Twitter.

Papua.
Tanah emas yang katanya bagian dari kita, tapi diperlakukan seperti tetangga kos yang cuma diajak ngobrol kalau perlu.
Mereka punya gunung, sungai, dan cerita. Tapi yang lebih sering didengar dari sana adalah tembakan.
Setiap kali suara dari hutan keluar, kita balas dengan desing peluru — bukan dengan ruang dengar.

Kita bilang mereka saudara.
Tapi setiap kali mereka marah, kita bilang mereka separatis.
Mereka minta sekolah, kita kirim aparat.
Mereka minta rumah, kita kasih senjata.
Mereka tanya: “Apa salah kami?”
Kita jawab: “Diam, jangan provokasi.”

Anehnya, ketika seorang anak Jakarta demo soal lingkungan, ia disebut aktivis lingkungan.
Tapi ketika anak Papua demo soal tanah leluhurnya, ia disebut simpatisan separatis.
Lucu kan?

Mungkin karena kulit mereka lebih gelap.
Atau karena mereka terlalu jauh dari panggung TV nasional.
Atau karena suara mereka tidak berbunyi seperti suara pasar saham.
Atau karena mereka tidak tahu caranya membuat thread viral di media sosial.

Atau mungkin… hanya karena mereka sudah terlalu lama menunggu tanpa hasil — lalu akhirnya memilih bicara dengan cara yang membuat kita risih.

Sebenarnya, tidak semua dari mereka ingin merdeka.
Banyak yang hanya ingin dihargai sebagai manusia.
Tapi karena bicara soal harga diri itu terlalu mahal, maka mereka dicap teroris diskonan.
Padahal, definisi teror di negeri ini cukup fleksibel.
Kalau kamu ribut karena lapar: pengemis.
Kalau kamu ribut karena harga BBM naik: pengganggu ketertiban.
Kalau kamu ribut karena tanahmu dirampas: separatis.
Dan kalau kamu menulis semua ini di blog...
Yah, siap-siap saja dimasukkan dalam daftar pantauan.

Aku sih cuma nulis.
Nggak punya senjata, nggak punya gerakan bawah tanah.
Paling bawah cuma tulisanku yang kadang nggak dibaca orang.
Tapi kalau setelah ini aku dibilang simpatisan OPM…
Ya sudah, mungkin sekarang “teroris” artinya:
Siapa saja yang pakai logika dan masih punya empati.

Jakarta, 2024

Posting Komentar

0 Komentar