Sudah lama memang, terlalu jauh dimakan waktu. Biarlah,
namanya juga usaha. Entah itu seadanya, atau penuh keringat hingga ke gusi
gigi. Intinya semangat, dihimpit doa-doa teduh sepanjang malamnya. Dari keluarga,
sahabat, teman-teman, juga jiwa sendiri yang memayungi mohon. Setiap awal pasti
ada akhir, begitulah kata-kata yang sering terdengar. Memaknai tapak yang
melangkah, tentu akan berlabuh pada suatu tempat. Tinggi rendah, jauh dekat,
dan surga atau neraka. Semua tidak mungkin berhenti, seperti waktu yang tak
pernah takluk pada keresahan. Dialah jiwa, tentang jati diri yang bersemi di
bawah kolong langit ini.
Kesekian dan sebatas jarah untuk hari-hari yang bebas
menunggu petang. Banyak misteri soal senja, dari warna merah, kelabu, bahkan
jingga. Ada di antaranya harus kembali menuai benci, meskipun asmara yang
singgah sudah terlalu tua. Pernah aku mendengar orang, katanya sudah memudar. Ah,
barangkali itu benar, seperti mitos yang terkadang aku juga ragu kebenarannya. Jika
mengaitkan tentang cinta, aku tidak setuju. Meskipun hampir seluruh manusia di
bawah kolong langit ini percaya cinta adalah sebuah perasaan. Bagiku, cinta itu
hanya imanjinasi. Banyak alasan, beda kepala tentu tidak akan sama sudut
pandangnya. Entahlah untuk kalian yang lebih memahami.
Kau pasti mengerti, tidak gampang hidup dalam satu tekanan. Begitu
juga aku yang selalu enggan jika diminta untuk menghadiahkan nafsu pada
seseorang. Maka aku tidak akan cukup hari dengan memulai hitungan angka. Bukan angka,
aku tidak suka dengan bentuk susunan yang menyerupai jumlah. Tidak akan
terkadar, biar mati hati sebab disakiti. Ah, lagi-lagi aku menganggap itu hanya
sebuah keresahan. Terlalu berlebihan tentang sebuah ungkapan tentang cinta. Menurutku,
kasih sayang itu seperti aku pada kakakku, ibuku, ayahku, adik-adikku, dan
kalian wahai sahabat. Meskipun pernah terucap benci, tetapi tidak pernah ada
kenyataan yang sebenarnya. Begitulah para penyair yang tidak pernah lupa pada
hakekat keindahan hanyalah milik jiwa. Bukan penilaian menurut seorang juri.
Masih sukar dipahami, maka gunakan imajinasi sebagai bahasa.
Inilah bahasa jiwa, tentang arah yang membawa hati untuk sebuah kebebasan. Ada perdamaian,
kasih sayang, juga perjuangan yang sangat mengagumkan. Perlu dipertahankan,
atas nama apa lidah berkata-kata cinta. Kau masih waras, kemudian menganggap
hatiku adalah gila. Tidak ada bantahan, hanya sebuah pernyataan yang menunjukan
kesehatan jiwamu yang sedang buruk. Lebih parah daripada paru-paru yang
disesaki tragedi. Atau jantung seorang pendusta. Dan hari ini, aku kabarkan pada
jagad raya. Aku menemukan semangat dengan caraku, jiwa dan senyum keindahan
dari sebuah kepercayaan. Syukurku kepada Tuhan, dan terima kasih atas semesta! Amin.
Bandung, 26 Febuari 2014
2 komentar
Cari keseimbangan bang :D
ReplyDeleteHaha, makanya lagi timbangan yang cocok.
Delete