Menjadi seorang
presiden, tentu saja perkara yang paling konyol jika mengingatnya. Bukan hanya
bagiku, dan para rakyat lain yang di singgasana debu. Pernahkah kau mengingat?
Kita pernah sama-sama terjebak di ruang ketidaknyamanan seorang presiden.
Risih! Seperti matinya pun bahagia dikenang terompet. Copet! Benar-benar kepepet
memilih pengganti. Tatkala matinya kabinet di negeri ini.
Kini, ketika
semua mulai merasa. Bebas, sesuka hati dalam memilih. Meski terkuak lebar
gerbang-gerbang menuju istana, tapi tetap konyol untuk bisa meraih raja.
Sebab bodoh! Terlalu banyak idiot-idiot yang membuat kita semakin tolol dan
konyol. Apa kau termasuk buta? Tidak melihat asbak dipenuhi putung rokok yang
masih menyala. Ya, asapnya bertebaran di ruang rapat. Semua terlelap sambil
membagi hasil. Nyata, bukan mimpi.
Suatu waktu, aku
mengitari jemari dalam terpaan angin. Tidak dingin, namun hati mengilu sebab
didusta. Percuma sajalah, menyairkan cinta! Rata-rata bohong berharap dipuja.
Eh, apa kau masih mengenal, siapa yang seharusnya bekerja? Membangun negeri
yang tidak pernah maju. Selalu saja berkembang dengan sejuta kebohongan. Ya,
semenjak 98 bersumpah bahasa kebohongan, maka reformasi pun ikut menjadi
sampah. Apalagi demokrasi!
Malam bertambah
gelap, janda-janda berkeliaran sebagai jablay. Alay! Tata letak negeri sudah
bertaruh kehancuran. Kiamat! Dunia terbahak menyaksikan sandiwara sosial.
Tikus-tikus semakin mabuk, tertawa geli mengintip kucing yang menjilat kelamin
sendiri. Kemudian pun aku coba berdiri, berusaha cengir sebagai wayang, dan
rupiah menjadi dalang. Pecundang! Terlebih kau!
Tunggulah, sampai semua orang tersadar dari simulasi kiamat ini!
Tunggulah, sampai semua orang tersadar dari simulasi kiamat ini!
Bandung, Juni 2014
0 komentar