Pena Penyair Miskin

By Unknown - 1:41 am

Aku tetap menulis sajak, meski tidak dibayar. Biarlah habis sejuta tinta, tanpa diberi upah. Setiap yang aku terima hanya penghormatan sebagai penyair. Siapa pula yang mampu menjadi raja? Aku selalu kalah tatkala diajak bersaing. Hariku terlalu dingin, malam selalu beku dimakan waktu. Belum juga mampu menikmati honor selayak jutawan. Ya, aku tahu, sebab lemah badan, atau sangat damai menuai hasil. Tanpa pendidikan sastra berbasis formal.
Saat jam mulai menghimpit di sudut kamar yang gelap. Listrik tak terbayar, apalagi perut yang belum terisi sedikitpun nasi. Sungguh, aku kelaparan di dalam duniaku sendiri. Benar-benar seorang diri, tanpa siapa pun yang aku kenal seutuhnya. Sudah lama aku menyebutnya keterasingan. Walupun kesepian lebih mudah tercipta di ruang kehampaanku kini. Sampai detiknya ini, aku selalu kenyang dengan ketidakwarasan. Setelah memakan habis semua angka di ijazah yang pernah aku tempuh.
Sedikit suara malam memberi penompang. Sekedar menghibur beku agar lebih mengilu. Semakin menggigil, tubuh kecilku seakan begitu dekat dengan kiamat. Apa sebab terlalu jauhnya aku dari dunia? Entahlah, sejak pertama hingga saat ini, selalu saja dingin. Angin seolah salah tingkah, dan selalu merayu untuk bercinta. Parahnya di lain semesta, semakin beda memaknaiku sebagai nyata. Harga sebuah sastra tak terurusi!
Ah, sudahlah, berulangkali pun aku tetap bukan kalangan terhormat. Tidak lebih dari kuman-kuman pena yang memanggilku penyair. Semua gara-gara angka kebohongan, menetapkanku sebagai penyair miskin. Bergelimpangan air mata didera ketidaknyamanan, tergepoh kaki mengusap kelana. Sampah! Sejuta hasrat terbakar menatap koran bekas: yang memeluk gelapnya dinding kamarku sendiri.
Bandung, Juni 2014  


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar