Sebenarnya, apa kau mengerti? Tidak pernah ada yang lebih
indah daripada bertemu pagi, kemudian menyapanya. Lebih tenang daripada memburu
malam dengan kekalutan akan gelap. Sungguh, nyaris tidak sempurna, jika
diumpamakan dengan wanita tanpa warna warni di sekeliling tubuhnya.
Aku pernah melayangkan senyum, diiringi isak dari relung
jiwa. Bersama cita-cita yang berkelana terlalu jauh, hingga enggan bersahabat
dengan kenyataan. Aku bosan berpeluk mimpi. Seakan ingin muntah mengingat masa
depan. Sungguh, dari kejauhan aku terus merasa tak tersampai.
Entahlah, aroma yang tercium seakan menyengat. Tidak pula
untuk sebuah kegagalan.
Bermula dari yang disebut senang, pada hari ini aku kabarkan
yang sama. Berpikir, lalu bersemi angan ditebas kegelisahan. Persis, seperti
manusia yang ketakutan menghadap kematian. Pengap, tanpa suasana seluas surga. Dihapit
ribuan dinding yang mudah lapuk oleh fatamorgana. Aku terjebak dalam masa tidur
yang panjang. Alarm tak berdering lagi. Suara-suara kurang ajar sepertinya bosan
untuk menyapa.
Seuntai syair selalu menggambar rasa. Betapa peka bulu yang
disentuh cahaya surya. Tak sampai hati untuk bertanya, sejauh mana angin
membawa kehampaan. Kosong. Tak bermakna. Kelam. Berselimut daging tipis tanpa
kulit. Tak mudah tertawa sialan ala cerpenis kelamin. Aku ingin lupakan tentang
kebahagian samar. Terutama cinta.
Jika hari ini adalah titik, maka esok bukan garis bagiku. Ada
sumber petaka yang menghantui sudut samudera rasa. Aku mencoba perbaiki,
berkali-kali pula dihujan impian. Entah apa, padahal tak tercapai. Seiring asap
yang melingkari bumi. Aku tak ingin mati, hanya ingin istirahat dari mimpi-mimpi
kelabu. Sebab impian ini masih pengap, dan akan terbenam bersama hari ini.
Tidak ada petaka yang aku tunggu lagi, setelah hari kemarin
berakhir di setiap malam. Hanya ada hari ini, dan aku masih sibuk menikmatinya.
Bandung, 25
Agustus 2014
0 komentar