Hujan
masih belum reda sepenuhnya dari pagi, sedangkan matahari hampir terbenam. Menjelang
magrib, tiba-tiba terpikir untuk meminjam buku di Rumcay baru. Soalnya sedang
ada proyek tulisan bergenre Teenlit, sedangkan aku hampir tidak pernah menulis
yang beraroma gituan. Maka selepas salat isya, aku mengajak Aslan untuk datang
ke Rumcay. Setidaknya ada buku segenre demikian yang bisa dibaca. Kebetulan,
Aslan juga sedang membutuhkan printer. Dan dengan senang hati, kami berencana
ke Rumcay setelah makan malam.
“Bang,
Abang yakin kita ke Rumcay malam-malam begini?” kata Aslan dengan tatapan sok
horor yang sebenarnya menjurus ke humor.
“Kenapa
memangnya? Lampu kan sudah ada, jadi apa yang ditakuti? Kalau perlu kita
nginap!” balasku setengah bergurau.
“Serius?
Hujan-hujan gini biasa dia datang, Bang!” Aslan mulai membuatku menelan ludah.
“Iya,
kenapa? Dia siapa? Takut apa? Nggak ada apa-apa di sana!” segala jenis
pertanyaan aku lontarkan, walau sejatinya aku sudah tahu jawabannya.
Aslan
hanya tertawa kecil, seakan-akan menutupi kekhawatirannya mengenai keseriusanku.
Semakin ia mengekspresikan wajah lugunya, kian tampak rasa cemas di dalam
batinku. Seolah aku mulai terperangkap dengan roh-roh berwujud yang aku yakin
tidak pernah ada. Eh, bukan. Maksudku antara ada dan tiada. Apalagi hujan mulai
berubah menjadi jarum-jarum lembut yang jatuh dari langit. Semakin ia memberi
gambaran, bahwa malam ini sangat tidak baik untuk menghabiskan waktu di sana.
Dalam
hujan yang terkadang deras, sesekali merintik, kami tiba di halaman Rumcay yang
sepi dan gelap. Nyanyian katak-katak tak bertempo seakan menyambut kedatangan
kami. Hingga suara merdu jangkrik pun tidak mau kalah ingin disebut. Seiring tatapan
kami yang cermat mengelilingi sekitar halaman depan. Jauh lebih angker dari
yang kubayangkan, bahkan untuk menyalakan lampu saja kami saling dorong.
“Aslan!
Masuk! Nyalakan lampu!” perintahku, sebelum ia yang menugaskanku.
“Kenapa
nggak Abang aja? Aslan mau balas SMS dulu,” bantahnya sembari mengambil
handphone dari saku.
“Aku
nggak tahu di mana,” dalihku mencari-cari alasan.
“Di
mana apa? Masuk terus, Bang,” Aslan mulai menyudutkanku.
“Eh,
aku mau isi pulsa!” cetusku seraya mengambil langkah mundur.
Hujan
mendadak mulai deras, kami terdiam di serambi Rumcay yang sunyi. Hanya ada suara katak dan jangkrik, sesekali angin pun mulai ikut serta. Dentuman air
hujan yang menghantam seng-seng peyot menambah kebisingan sunyi. Sedangkan kami masih
tegak berdiri membisu. Namun mendadak bulu kudukku berdiri dalam gelap. Dengan
hujan yang tak kunjung reda, telingaku mencoba menangkap suara kecil yang semakin
lama jelas terdengar di sela-sela terpaan angin. Dari jauh kian mendekat.
Om, sini kuncinya, biar saya saja
yang nyalakan lampu...
Sontak,
aku terkaget setengah mati. Nafasku berebutan ingin dihembus, hingga tidak
jelas lagi komat kamit bibirku melontarkan kata-kata. Sialan! Aslan mengira ini
sebuah lelucon.
Banda Aceh, 05 September 2013
7 komentar
Saya juga sempat terhanyut dalam ceritanya, bulu kuduk say juga ikutan berdiri ini mas.
ReplyDeleteHahahaha... jangan suka jahil menjahili ya mas, biar gak terjahilkan.
Salam dari Jember.
iyaa, tapi yg menjahili saya adalah mahluk gaib :-s
ReplyDeleteKalau suasananya seperti malam itu dan di tambah bayangan-bayang putih yang lewat, rambut yang menjuntai sampai ke tanah, lengkaplah sudah bang. :(
ReplyDeletehahahahaha....:-)
ReplyDeleteNazrii..Nazrii...
kocak sekalii entee yoo
Wkwkwkkkwwkkwkw, kebayang gimana ekspresi Nazri slnjutnya, #saket perut akuuu ketawa baca tulisan ini, hahhahahaa :D
ReplyDeleteMacam terasa ada mimi dismping haha, terasa x, mntap bg...
ReplyDelete:D
hhaa.. itulah Nazri. mimi kangen dengan Nazri.
ReplyDelete