Bengong sendirian depan rumah, bingung apa yang harus aku lakukan. Seorang perempuan muda tiba-tiba lewat naik
kereta kuda, betisnya telanjang, putih bersih seperti singkong tanpa kulit. Ada
anak-anak setan juga yang berlari mengejarnya dari belakang. Aku terkekeh, ingin
melempari mereka dengan cangkir kopi buatan Inggris. Tapi sebelumnya aku pernah bertanya, pada
awan, juga di hadapan sambaran halilintar di kabel listrik.
“Kau kenal dia? Parasnya mirip penyair yang mati ditikam belati,”
Tidak ada yang menjawab, aku menganggapnya mereka sedang berpikir. Segera
kutinggalkan, dan kembali bersila di atas tembok lantai tiga. Abu-abu sepuntung
rokok kubiarkan ditiup angin, sebagiannya sudah menodai celana dalam yang ada di
baris jemuran. Entah milik siapa, jikapun aku tanyakan satu per satu, tentu
mereka juga pasti akan berbisu. Aku tahu, mereka tidak suka berbicara pada malam hari, atau
sedang berharap cemas penghujung malam
dengan desis-desis nafas.
Lolong anjing menghanyutkan malam semakin larut, detik-detik berlalu
begitu saja. Aku pun masih belum tahu harus berbuat apa, bengong sembari
memandangi sajak-sajak semilir yang semakin dingin. Hingga rinai bersama rintik
mengabarkan badai, semendadak itulah aku teringat dengan istriku yang cantik di
kamar. Ada baiknya sekarang, aku menghampiri pelita yang berbaring sendu di hamparan sepray jingga.
Malam membawa sepi, kamarku gelap tanpa cahaya. Lampu kunyalakan,
terlihat sedikit berantakan karena jarang kuurus. Oh, tidak! Aku baru terjaga
dari relung idiot. Anak-anak setan tertawa geli, gadis di atas kereta bersimpul
menyindir.
Kau hanya tinggal separuh sepi! Kenanganmu
berguguran di kota yang lebih tua,
Bandung, 06 November 2013
4 komentar
Nyan.... Ka jeut mita saboh ineung bak Bandung :D
ReplyDeleteHanjeut lage nyan Aslan, mantoeng na gampoeng, jadi mita cara woe U nanggroe dile
DeleteHmmm...kalau blm sampai di ending, saya tidak mengerti alur ceritanyaa..hehee..
ReplyDelete:)
Bukan untuk dimengerti, cuma untuk dibaca
Delete