Cahaya Jiwa

By Unknown - 8:23 pm

“Air mata sepertinya tak lagi berarti. Sungguh, aku tak pernah bisa menginzinkannya pergi,”
“Sudahlah, kau pasti bisa! Buktikan ketangguhan benteng hatimu dari serangan nestapa,”
“Tidak! Aku tidak kuat, wahai Jiwa. Terlalu rawan bila aku masih berteduh di bawah sengatan cinta. Kau tahu kan? Aku paling tidak bisa mengartikan cinta lebih dalam. Apalagi, menilai keanggunan dari kerudung yang samar melalui kaca mata siluet,”
“Bodoh! Itu pertanda kau sudah mencintai Riska dari bayangannya. Mau dibawa ke mana kesetiaanmu? Bukankah kau pernah mendeklamasikan kesetiaanmu melebihi cerita Ramayana?”
“Jangan! Aku masih waras, wahai Jiwa! Kau juga masih sehat kan? Jangan kacaukan pikiranku dengan perdebatan soal cinta denganmu. Kau adalah jiwa, bagian dari ruh yang mendukung langkahku,”
Di hadapan cermin, aku bimbang dengan cara pikir yang semakin bercabang. Fitri meninggalkanku, sedangkan Riska tiba-tiba datang mencairkan gundah. Padahal, aku belum pernah menatap raut Riska seutuhnya. Kerudungnya terlalu lebar untuk sorotan mata sipitku.
Sudah satu bulan Fitri pergi, dinding kejujuran juga telah menuliskan rasa itu mulai pudar. Apalagi Fitri sempat memintaku untuk mencari penggantinya. Katanya, tidak ada yang abadi di dunia ini. Apapun itu, tidak akan pernah bisa bertahan terhadap ujian waktu. Karena mengingat itu,  malaikat dan setan pun enggan melakukan gencatan senjata. Mereka sama-sama mempertahankan wilayahnya di hatiku.
“Kau adalah pria, pilihanmu tepat yang ada di hadapanmu. Kau tahu kan? Rindu adalah virus yang paling menyakitkan dari perpisahan,” bisik setan di lubang telinga kiri.
“Jangan! Kau adalah pria, kesetiaan adalah mahkota untuk kehormatanmu. Sedangkan kasih sayang sebagai singgasana dan cinta menjadi istana,” risik malaikat sambil merapikan kerah bajuku.
“Iya, kalian benar! Aku akan melupakan Fitri, kemudian mengaplikasikan kesetiaanku pada Riska,”
Dengan sekejap kedua mahluk Tuhan itu menghilang seiring suara telepon genggamku. Di layar tertera nama Riska dan nomornya, batinku mengatakan inilah takdir dari semua jawaban. Riska mengajakku ke perpustakaan. Benar, ini adalah jalan yang ditetapkan Tuhan untuk hamba yang diselimuti kegalauan. Setidaknya pikiranku bisa kembali normal seperti umat manusia lainnya.
Setibanya di perpustakaan, aku melihat Riska mengenakan baju ungu dengan pesona kerudung lebarnya. Kali ini aku benar-benar melihat sepercik keanggunan bidadari surga di sudut wajahnya. Hampir saja aku kembali berbicara dengan jiwa.
“Kita ke ruang sejarah ya? Riska mau mencari buku tentang peradaban dunia di Alexandria,”
“Alexandria? Aku mengenang Cleopatra di sana. Ratu yang kecantikannya mampu membius Julius Caesar bertekuk lutut,”
“Wah, kamu mengerti sejarah juga ya? Terus Cleopatra matinya bagaimana?”
“Dia bunuh diri dengan memasukan tangannya dalam keranjang yang berisi ular berbisa,”
“Terus Julius Caesar bagaimana?”
“Iya, terus kita masuk ke perpustakaan. Lalu baca kelanjutannya,”
Riska sedikit kesal, tapi aku membantu mencarikannya buku tentang Alexandria. Ketika ia sedang fokus membaca, aku terkagum dengan bola matanya yang bersinar seperti kejora. Maka di saat itulah aku mengungkapkan cintaku.
“Maaf, saya sudah menikah. Suami saya sedang bertugas sebagai relawan di Palestina, saya tidak ingin mengecewakannya,”
Jawaban yang sangat dramatis, membawa rasioku terbang mencari Fitri. Segera kuraih handphone, membaca beberapa SMS lama yang hampir serupa.
-Yang tabah ya, semoga amal ibadah Fitri diterima di sisiNya
Jiwa! Aku masih menunggu cahaya, walaupun itu hanya remang..


Banda Aceh, 13 April 2013

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar