Ada sehelai kain yang tak dijual di etalase tren, tak berubah oleh musim, dan tak tunduk pada tepuk tangan manusia.
Kain itu bukan simbol budaya, bukan sekadar pilihan pribadi, apalagi aksesori identitas.
Ia adalah perintah yang turun dari langit—lembut tapi tegas, sederhana tapi sakral.
Namun zaman kini memelintir makna.
Mereka berkata, “Hijab hanyalah tafsir lama.”
Ada yang berucap, “Tak berhijab pun tetap bisa mulia.”
Ada pula yang, dengan senyum anggun dan suara penuh retorika, menyelipkan kalimat,
"Jangan ukur keimanan dari selembar kain."
Tapi siapa yang sedang menakar iman, jika yang sedang kita bicarakan adalah ketaatan?
Mereka anggap jilbab sekadar budaya Arab.
Padahal Al-Qur’an bukan turun di Paris, dan bukan tafsir Barat yang jadi kompas langit.
Ayat tentang menutup aurat bukan dongeng yang bisa ditolak karena selera pribadi.
Wahai perempuan yang cerdas dan bersuara,
Apa guna kata-kata yang memikat jika menjauh dari firman?
Apa guna bicara keadilan, jika menafsirkan agama demi selera zaman?
Hijab bukan milik ustadzah saja. Ia milik setiap hamba yang mencintai Rabb-nya.
Bukan soal kain, tapi ketaatan.
Bukan soal tren, tapi surga dan neraka.
Bukan soal patriarki, tapi karena Allah berkata: "Dan hendaklah mereka menutupkan jilbab ke dada mereka..."
Itu bukan suara lelaki.
Itu bukan tafsir adat.
Itu wahyu.
Dan jika kita mulai memilih-milih ayat,
jangan-jangan yang kita sembah bukan lagi Tuhan,
tapi ego yang bersuara manis dan tampil elegan di layar kaca.
Banda Aceh, 2025
0 Komentar