Di Antara Kebebasan dan Kesesatan – Salah Kaprah Islam Liberal

Di Antara Kebebasan dan Kesesatan – Salah Kaprah Islam Liberal

Dalam dunia yang semakin terbuka, banyak yang menyamakan keterbukaan dengan kebenaran, dan kebebasan berpikir dengan kebebasan menyimpang. Di tengah arus modernitas itu, muncullah apa yang disebut sebagai
Islam liberal—sebuah paham yang mengaku membawa pembaruan, namun diam-diam menggerus fondasi akidah.

Mereka berkata, semua tafsir itu relatif.
Bahwa kebenaran itu milik siapa saja, bukan lagi milik wahyu.
Bahwa Al-Qur’an bisa dibaca ulang sesuai semangat zaman, bahkan jika itu berarti menolak hadits shahih, mengubah hukum waris, menyetarakan semua agama, atau menafsirkan ulang ayat-ayat tentang syariat.

Inilah wajah Islam liberal—yang katanya progresif, tapi nyatanya permisif.
Yang katanya membawa kebebasan, tapi justru membelenggu hati dari keikhlasan menerima wahyu.

Lalu masyarakat dibuat bingung.
Mana yang benar? Mengapa mereka berbicara dengan bahasa yang halus dan akademis? Mengapa mereka terlihat pintar dan modern?

Jawabannya sederhana:
Kebatilan yang dibungkus retorika tetaplah batil.
Bukan karena terdengar manis, lalu jadi benar.
Bukan karena dikutip dari kampus luar negeri, lalu bisa menggugurkan dalil dari Nabi.

Islam tidak anti akal. Tapi akal dalam Islam tunduk kepada Al-Qur’an dan Hadist.
Islam tidak anti kritik. Tapi kritik dalam Islam dibatasi oleh adab dan keimanan.
Islam tidak menolak kemajuan. Tapi kemajuan sejati adalah yang berjalan seiring dengan iman dan takwa.

Mereka menyebut Islam konservatif sebagai kolot. Tapi siapa yang lebih kolot dari mereka yang masih terjebak pada logika manusia semata dan menolak petunjuk langit?

Islam bukan liberal, bukan konservatif, bukan kiri atau kanan. Islam adalah Islam.
Agama yang diturunkan dengan rahmat, dijaga dengan syariat, dan ditegakkan oleh para Nabi dengan kesabaran, bukan oleh aktivis yang membangun ideologi di atas opini.

Posting Komentar

0 Komentar