Setiap batang rokok yang dibakar, negara turut mencicipi sebagian asapnya—bukan melalui hisapan, tapi melalui cukai. Cukai rokok menyumbang lebih dari 150 triliun rupiah tiap tahun untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebuah angka fantastis yang tak bisa diabaikan. Namun, di balik angka itu, ada realita kelam yang juga tak bisa disangkal: penyakit, kemiskinan, dan ketimpangan.
Retorika pemerintah tentang "pengendalian konsumsi" melalui kenaikan cukai seringkali terdengar seperti formalitas. Harga rokok boleh naik, tapi konsumen tetap setia. Bahkan di warung-warung kecil di desa, anak-anak muda masih bisa membeli rokok batangan. Kebijakan separuh hati? Mungkin. Atau bisa jadi, negara tak sungguh-sungguh ingin konsumsi rokok menurun—karena di sinilah mesin uang itu berputar.
Pabrik rokok pun berjaya. Mereka menyerap tenaga kerja, membayar cukai, mengiklankan "prestise", dan tetap menembus pasar. Dari kampung hingga kota, dari buruh hingga pejabat, semua pernah terjerat. Rokok tak mengenal kasta.
Namun yang menjadi korban terbesar tetaplah masyarakat kelas bawah. Mereka yang paling rajin merokok, justru adalah mereka yang paling kesulitan mengakses layanan kesehatan saat paru-parunya runtuh. Ironis, bukan? Mereka membayar lebih lewat rokok, tetapi tak pernah cukup untuk membeli napas sehat.
Cukai rokok memang menyumbang besar pada negara. Tapi apakah itu berarti kita rela menjadikan rakyat sebagai sumber penderitaan berulang demi stabilitas APBN? Apakah tak ada alternatif lain? Ataukah kita sudah terlanjur candu pada keuntungan instan?
Kita butuh kejujuran dalam mengurai persoalan ini. Bahwa rokok adalah masalah sosial, tetapi juga sumber devisa. Bahwa negara punya kepentingan fiskal, tapi juga tanggung jawab moral. Dan bahwa selama bea cukai masih menjadi tumpuan anggaran, kita tidak benar-benar berniat menyelamatkan generasi dari bahaya rokok.
Karena pada akhirnya, yang terbakar bukan cuma tembakau. Tapi juga masa depan.
0 Komentar