Ada sesuatu yang berbeda saat pertama kali aku
menginjakkan kaki di Madiun. Bukan karena ukurannya yang kecil atau
jalan-jalannya yang tenang, tapi karena nuansa ramah yang langsung terasa
bahkan sejak turun dari kereta. Stasiun Madiun berdiri tegak seperti saksi bisu
sejarah panjang perkeretaapian Indonesia—dan di sanalah ceritaku dimulai.
Madiun bukan kota besar yang riuh, tapi justru di
situlah pesonanya. Di setiap sudutnya, aku menemukan irisan antara tradisi yang
tak pernah padam dan modernitas yang pelan-pelan menyusup. Di sini, orang bisa
menikmati nasi pecel yang legendaris sambil mendengar obrolan tentang pencak
silat, kereta api, dan bahkan masa depan industri transportasi Indonesia.
Tak jauh dari pusat kota, berdiri sebuah lembaga
pendidikan yang jarang disebut dalam brosur pariwisata, tapi sangat penting
bagi negeri ini—Politeknik Perkeretaapian Indonesia (PPI) Madiun. Sebuah tempat
di mana generasi muda ditempa menjadi garda terdepan dunia perkeretaapian. Di
antara bangku kuliah dan gemuruh roda baja, mereka belajar bukan hanya tentang
mesin, tapi juga tentang ketepatan, kedisiplinan, dan tanggung jawab.
Madiun dikenal dengan julukan Kota Pendekar.
Julukan ini bukan isapan jempol belaka, sebab dari kota inilah lahir banyak
perguruan silat ternama yang namanya melegenda hingga ke luar negeri. Di banyak
gang dan balai latihan, seni bela diri bukan sekadar olahraga, tapi bagian dari
identitas. Di sini, pencak silat bukan cuma pertunjukan, tapi cara hidup.
Tapi Madiun bukan hanya tentang silat. Kota ini
punya tempat istimewa dalam sejarah perkeretaapian Indonesia. Letaknya yang
strategis menjadikan Madiun salah satu simpul penting jalur rel di Jawa. Bahkan
hingga kini, Madiun menjadi rumah bagi industri kereta api dalam negeri—melalui
INKA.
Di masa lalu, Madiun juga pernah menjadi sorotan
nasional karena peristiwa politik yang rumit dan tragis. Namun, kota ini tak
berhenti di sana. Ia tumbuh perlahan, membentuk wajah baru yang lebih tenang,
lebih bijak, namun tetap teguh menjaga akarnya. Di balik kesejukan jalan-jalan
kotanya, ada jejak perjuangan dan perubahan yang tak bisa dihapus sejarah.
Di kota ini, pagi terasa kurang lengkap tanpa nasi pecel.
Tapi bukan nasi pecel sembarangan—aku berbicara tentang Pecel 99, warung
legendaris yang tak hanya melegenda karena rasanya, tapi juga karena jejak
sejarahnya.
Pagi itu aku datang
ke sana, dan seperti yang sudah kuduga, antrean sudah mengular. Tapi bukan
antrean biasa—di sudut ruangan, terpajang foto Presiden SBY
tengah menikmati pecel di tempat yang sama. Rasanya seperti diikat oleh sejarah
dan cita rasa dalam satu ruang sederhana yang hangat.
Di barisan antre,
terdengar riuh suara nenek-nenek keturunan Tionghoa—lÇŽolao dan nÇŽinai—yang
berbincang akrab dalam campuran bahasa Mandarin dan Jawa. Sesuatu
yang mungkin hanya bisa kamu temukan di kota seperti Madiun, di mana akulturasi
berjalan begitu alami dan menyenangkan.
Aku akhirnya
memesan seporsi nasi pecel dengan lauk lidah sapi dan ikan wader
goreng—kombinasi yang mungkin terdengar sederhana, tapi
menghadirkan kelezatan yang jujur dan memuaskan. Bumbu kacangnya kental, pedas,
sedikit manis, dan menyatu dengan nasi hangat serta renyahnya peyek.
Di sudut meja kayu
yang agak lapuk, aku menikmati sarapan itu perlahan. Di luar, angin kota Madiun
berhembus pelan—membawa aroma kacang goreng dan suara sepeda motor lewat,
seolah mengingatkanku bahwa kadang, kebahagiaan datang dari hal-hal yang paling
sederhana.
Setelah kenyang dengan seporsi pecel lidah dan
wader yang nikmat, aku memutuskan berjalan kaki sebentar ke Alun-Alun Madiun.
Tempat ini bukan hanya sekadar ruang terbuka hijau, tapi juga titik temu yang
tenang di tengah kota. Di pagi hari, banyak orang tua senam ringan, anak-anak
bermain skuter, dan pasangan muda duduk di bawah rindangnya pohon trembesi.
Tak jauh dari situ,
aku menyempatkan mampir ke Taman Sumber Umis, taman kota dengan
suasana yang cukup asri dan kolam air mancur kecil di tengahnya. Tempat yang
cocok untuk sekadar duduk, menulis, atau membaca buku sambil ditemani suara air
dan lalu lalang warga yang ramah.
Salah satu tempat
yang juga menarik perhatianku adalah Masjid Kuno Taman, yang konon
usianya sudah ratusan tahun. Arsitekturnya khas—perpaduan antara budaya lokal
dan sentuhan Islam Jawa yang lembut. Di seberangnya, berdiri Klenteng Hwie
Ing Kiong, tempat ibadah umat Khonghucu yang tetap hidup damai
berdampingan. Dua tempat suci yang berdiri berhadapan itu seperti simbol
toleransi yang nyata—sesuatu yang menghangatkan hati.
Jika ingin mencari
oleh-oleh atau batik khas, aku merekomendasikan mampir ke Desa Pilangbango.
Di sana, batik tulis diproduksi dengan cara tradisional, dan beberapa perajin
dengan senang hati bercerita tentang motif dan filosofi di balik goresan malam
mereka. Aku sempat membeli sehelai kain batik dengan motif “pencak” sebagai
kenang-kenangan.
Sore harinya, aku
sempat melewati kawasan Umbul Square, tempat wisata keluarga
yang lebih modern dengan wahana bermain. Meski bukan tujuanku hari itu, tapi
suasananya cukup ramai dan bisa jadi pilihan menarik kalau datang bersama
keluarga atau anak-anak.
Madiun mungkin bukan destinasi liburan yang
sering disebut di media sosial atau brosur pariwisata. Ia tidak punya pantai
biru seperti di selatan, atau puncak-puncak berkabut seperti di utara. Tapi
kota ini punya sesuatu yang lebih sulit ditemukan: ketenangan yang tulus dan rasa
akrab yang muncul tanpa basa-basi.
Di antara suara
klakson becak, canda para ibu penjual, dan langit senja yang merona di atas rel
kereta, aku merasakan sesuatu yang selama ini sering dicari tapi jarang
ditemukan—rasa pulang, meski aku bukan siapa-siapa di kota ini.
Madiun bukan tempat
untuk dilalui terburu-buru. Kota ini mengajarkan untuk melambat,
mencicipi dengan hati, dan mendengarkan suara-suara kecil yang biasanya kita
abaikan. Entah itu obrolan nenek-nenek Tionghoa di warung pecel, atau kisah
tukang batik di gang sempit yang menyimpan cerita keluarga mereka dalam setiap
goresan malam.
Aku tidak tahu
kapan akan kembali ke Madiun. Tapi seperti bumbu pecelnya yang tersisa di lidah
dan aroma wader goreng yang membekas di ingatan, Madiun telah menetap di sudut
kecil hatiku—diam-diam, tapi tak tergantikan.
0 Komentar