Melawan Lupa: Tragedi Pelanggaran HAM di Aceh yang Tak Boleh Dilupakan

Melawan Lupa: Tragedi Pelanggaran HAM di Aceh yang Tak Boleh Dilupakan

Aceh pernah menjadi ladang air mata yang basah oleh darah dan jerit kemanusiaan.

Di balik gemuruh gunung dan damainya hamparan sawah, konflik bersenjata pernah merampas hak-hak paling mendasar manusia: hidup, bebas dari rasa takut, dan memperoleh keadilan.

Selama dekade panjang, dari awal 1990-an hingga perjanjian damai Helsinki 2005, banyak kisah duka membeku dalam diam. Rumah-rumah dibakar, ibu-ibu menangisi anak yang hilang tak pernah kembali, dan banyak pria dituduh tanpa bukti, lalu disiksa tanpa ampun. Kekerasan menjadi bahasa sehari-hari, dan pelanggaran HAM tak hanya terjadi di medan perang—tetapi juga di lorong sunyi rumah warga, di kamp-kamp militer, dan dalam ruang-ruang interogasi yang gelap.

Ada desa-desa yang tak lagi tercatat dalam peta karena dilenyapkan, ada nama-nama yang tak pernah ditemukan di nisan mana pun.

Namun, yang paling mengerikan bukanlah suara tembakan—melainkan senyap yang menyelimuti kebenaran setelahnya. Kita diajak melupakan. Kita diajak menutup mata.

Tapi hari ini, kita memilih sebaliknya: kita memilih untuk mengingat.

Mengingat agar luka tak jadi sia-sia. Mengingat agar keadilan tetap punya makna. Mengingat agar sejarah tak dihapus oleh kepentingan. Dan yang paling penting, mengingat agar tragedi yang sama tak pernah lagi terjadi di bumi mana pun, pada jiwa mana pun.

Aceh bukan hanya tentang konflik. Ia juga tentang keteguhan rakyatnya, tentang harapan yang terus menyala di antara puing. Tapi untuk membangun masa depan yang utuh, kita harus lebih dulu berdamai dengan masa lalu—dengan jujur, berani, dan penuh empati.

Melawan lupa adalah tugas moral kita bersama. Karena diam adalah bentuk kekerasan yang paling halus.


Melawan Lupa: Menyebut Nama, Menyuarakan Luka

Tak mungkin bicara soal pelanggaran HAM di Aceh tanpa menyebut tragedi-tragedi yang menggores sejarah kemanusiaan kita.

Simpang KKA, 3 Mei 1999.
Di sebuah persimpangan jalan di Krueng Geukueh, Aceh Utara, ratusan warga berkumpul dalam aksi damai. Mereka hanya ingin menyampaikan aspirasi—tanpa senjata, tanpa kekerasan. Tapi peluru tak mengenal damai. Tiba-tiba, suara tembakan menggema. Tak kurang dari 21 orang tewas di tempat, ratusan lainnya luka. 
Koalisi NGO HAM Aceh mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam peristiwa itu. Mayat berserakan di jalanan, sebagian remaja, bahkan anak-anak. Sampai hari ini, tak satu pun pelaku yang diadili.

Tragedi Jambo Keupok, Mei 2003.
Di desa kecil di Aceh Selatan, 16 warga sipil disiksa dan dibakar hidup-hidup di dalam rumah. Tuduhan: membantu gerakan separatis. Bukti? Tak pernah jelas. Para ibu menyaksikan anak mereka dipaksa jongkok, lalu dibakar bersama jerami. Bau daging terbakar melayang ke langit sore, meninggalkan trauma yang tak bisa dihapus waktu.

Rumoh Geudong, 1990-an.
Sebuah rumah adat di Pidie yang menjadi simbol penyiksaan. Di sanalah warga ditahan tanpa proses hukum. Mata mereka ditutup, tubuh mereka disetrum, disiksa, bahkan diperkosa. Suara jeritan menjadi bagian dari udara sehari-hari. Banyak dari mereka tidak pernah kembali.

Tragedi Bumi Flora, 2001.
Delapan buruh tani di perkebunan kelapa sawit tewas dalam penggerebekan aparat. Mereka disebut bagian dari kelompok separatis. Tapi keluarga mereka tahu: mereka hanyalah pencari nafkah, dengan cangkul, bukan senapan.

Agar Tak Ada Lagi Darah yang Mengering dalam Diam

Waktu mungkin berjalan, tapi luka tak serta-merta sembuh oleh tahun-tahun yang lewat.

Anak-anak yang dulu bersembunyi di kolong rumah saat suara tembakan bersahutan, kini telah dewasa. Tapi mereka tumbuh dengan trauma. Dengan kehilangan. Dengan pertanyaan yang belum terjawab: mengapa ayah mereka tak pernah pulang? Mengapa ibu mereka harus mengubur tubuh tanpa kepala? Mengapa dunia memilih diam?

Kita, yang hidup hari ini dalam damai, tak boleh melupakan bahwa kedamaian itu ditukar dengan tangis dan darah begitu banyak jiwa.

Melawan lupa adalah bagian dari keadilan.
Melawan lupa adalah bentuk penghormatan.
Melawan lupa adalah perlawanan terhadap kekuasaan yang ingin menutup lembar kelam tanpa pertanggungjawaban.

Generasi muda harus tahu, bahwa sejarah bukan hanya angka dan tanggal. Ia adalah tubuh-tubuh yang gemetar dalam ketakutan. Ia adalah anak-anak yang tak pernah melihat senyuman ibunya lagi. Ia adalah suara yang tak sempat minta tolong sebelum dibungkam.

Kita tidak menulis ulang sejarah. Kita hanya menolak membiarkannya dihapus.

Aceh hari ini adalah tempat harapan tumbuh. Tapi agar harapan itu tak rapuh, kita harus menegakkan fondasinya dengan kejujuran atas masa lalu.

Maka mari terus bersuara. Mari terus mengingat.
Agar tak ada lagi darah yang mengering dalam diam.

Melawan lupa adalah tugas setiap hati yang masih punya nurani.


Posting Komentar

0 Komentar