Rokok Tak Pernah Sekadar Rokok

Rokok Tak Pernah Sekadar Rokok


Aku tak akan memulainya dengan statistik, atau jargon kesehatan, atau ancaman penyakit yang sudah terlalu sering kau dengar tapi tetap kau abaikan.

Aku hanya ingin bicara tentang satu hal: kenyataan.

Di Indonesia, rokok bukan cuma kebiasaan. Ia adalah budaya. Ia hadir di warung kopi, di hajatan, di emperan pasar, bahkan di sela doa setelah kematian. Ia bukan sekadar candu nikotin. Ia telah menjadi simbol kelelakian, pelarian dari tekanan hidup, penawar rasa sepi, dan pengisi waktu di antara kemiskinan dan harapan.

Dan di saat bersamaan, ia juga menjadi mesin uang bagi negara.

Setiap batang rokok yang kau bakar, sebagian kecilnya masuk ke kantong pemerintah. Lewat bea cukai. Angka yang besar, sangat besar. Ratusan triliun rupiah setahun. Uang ini membiayai pembangunan, kesehatan, pendidikan—termasuk untuk kampanye anti rokok itu sendiri. Ironis, bukan?

Tapi mari kita akui sesuatu yang pahit: negara membutuhkan rokok. Dan karena itulah, meskipun tiap tahun ada kenaikan cukai, kita tak benar-benar melihat komitmen untuk menghentikannya. Hanya memperlambat. Mengulur. Menggantung.

Di sisi lain, pabrik rokok memberi kerja bagi ribuan orang. Rokok menciptakan industri. Iklan, kemasan, distribusi, penjualan—semuanya menghasilkan uang. Bahkan media pun tak selalu berani bicara lantang tentang bahaya rokok. Karena siapa yang mau melawan uang?

Lalu bagaimana denganmu, yang merokok?

Mungkin kau tahu semua ini. Mungkin tidak. Tapi aku ingin kau tahu satu hal yang tak tertulis di bungkus rokok mana pun: kau bukan mesin uang. Hidupmu bukan sekadar statistik konsumsi. Napasmu terlalu berharga untuk dikompensasikan dengan 450 rupiah cukai per batang.

Aku tahu berhenti merokok tidak semudah membalik tangan. Kau mungkin sudah terlalu lama hidup berdampingan dengan asap. Tapi jika kau pernah berpikir untuk berhenti—meski hanya sekali saja dalam hidupmu—maka anggap tulisan ini sebagai pengingat kecil yang datang di waktu yang tepat.

Bukan untuk menghakimi. Tapi untuk mengajak.

Karena yang terbakar setiap kali kau menyulut rokok, bukan hanya tembakau. Tapi waktu, harapan, dan tubuhmu sendiri. Sedikit demi sedikit.

Dan jika hari ini kau belum bisa berhenti, tak apa. Tapi berjanjilah bahwa suatu hari nanti, kau akan memilih hidup. Karena meski negara mendapatkan uang, tak ada satu pun uang itu yang bisa mengembalikan paru-parumu nanti.

 

Posting Komentar

0 Komentar