Kado Terbaik dari Seorang Perokok

Kado Terbaik dari Seorang Perokok

Rokok itu sakral.

Ia bukan cuma lintingan tembakau—tapi simbol kebersamaan, kekuasaan, bahkan kejantanan.
Coba lihat di warung kopi: tak ada pembicaraan yang terasa sah tanpa asap yang mengepul di antara dua mulut.
Di tempat kerja, rokok adalah izin tak tertulis untuk istirahat.
Di tongkrongan, ia menjadi paspor ke dalam percakapan yang tak pernah selesai.
Bahkan di tahlilan, kadang rokok dibagikan seperti sedekah.
Asapnya melingkar seperti doa. Aneh tapi nyata.

Perokok itu seperti kasta tersendiri—kaum yang konon lebih “berani”, lebih “santai”, lebih “jantan”.
Ada romantika yang tak bisa dihapus dari sebatang rokok.
Kau bakar ujungnya, dan seolah semua masalah ikut terbakar.
Kau hirup asapnya, dan hidup terasa sedikit lebih ringan, walau paru-parumu sesak.
Dan jujur saja, berhenti merokok? Halah, itu urusan nanti. Masih muda ini. Masih kuat ini. Toh, yang mati itu tak selalu perokok.

Lalu… kenapa aku berhenti?

Lucunya, aku juga tidak tahu.
Bukan karena dokter. Bukan karena iklan paru-paru hitam di bungkus rokok. Bukan pula karena seminar kesehatan.
Kalau soal penyakit, aku terlalu keras kepala untuk takut.
Kalau soal umur panjang, aku terlalu sarkastik untuk berharap.

Tapi ada satu kalimat yang entah darimana datangnya, muncul diam-diam dalam kepala:

"Kado terbaik dari seorang perokok untuk keluarganya… adalah berhenti merokok."

Dan kalimat itu tidak banyak bicara. Ia hanya duduk tenang di dalam benak.
Sampai suatu hari, aku menyalakan rokok, mengisapnya, dan tiba-tiba—aku merasa asing.
Tak lagi nikmat. Tak lagi sakral. Tak lagi romantis.
Seperti mencium bau perpisahan yang lama tertunda.

Aku tidak berhenti merokok karena aku kuat.
Aku berhenti karena entah kenapa, rasanya sudah cukup.
Aku lelah jadi simbol perlawanan palsu.
Aku capek terus menghibur diri bahwa sebatang rokok adalah bentuk "kebebasan", padahal itu justru jerat paling halus.

Dan memang benar:
Aku tidak tahu pasti kenapa aku berhenti.
Tapi aku tahu pasti kenapa aku bertahan.

Sebab ada mata yang menatapku dengan polos,
ada dada kecil yang suatu hari akan aku dekap,
dan ada suara lembut di rumah yang layak mendapat napas terbaik dariku.

Jadi inilah aku, seorang mantan pemuja rokok,
yang kini berdiri di sisi seberangnya, bukan untuk menghina,
tapi untuk bilang:
“Kita semua akan berhenti. Pertanyaannya cuma: mau hidup atau mau menunggu mati?”

Aku memilih hidup.
Dengan napas yang utuh, dan cinta yang lebih jernih dari asap apa pun.

 

Posting Komentar

0 Komentar