Sepotong Malam

Hari sudah berganti, namun masih gelap. Pukul 02.00 dini hari, pria itu bangkit dari tempat tidurnya. Sudah tua, serta sakit-sakitan yang tak kunjung pulih. Tertatih dalam bungkuk, kamar mandi pun menjadi tujuannya. Menyalakan keran sambil menahan dingin, merenggangkan badan sembari mengusir kantuk. Baru selesai membasuh air sembayang, terdengar pintu ada yang mengetuk. Tidak lain, ia tahu itu putra sulungnya yang bernama Fadli.

“Ayah! Buka, Ayah. Buka pintu!” suara itu semakin jelas, tatkala si bapak berjalan menuju pintu.

“Sebentar, sabarlah, Nak,” sahutan parau yang beberapa kali dilontar, namun cukup pelan, hingga Fadli tidak mendengarnya. Entah pura-pura tuli, atau mungkin memang sebab suara ketukan pintu yang terlalu nyaring.

“Kok, lama, Yah?”

“Tadi Ayah lagi wudhu di kamar mandi,”

Fadli sama sekali tidak peduli setelah itu, ia segera masuk kamar dan menyalakan televisi di dalamnya. Si bapak juga seolah sudah terbiasa, tak acuh, kemudian lanjut untuk mendirikan salat malamnya. Mulai terdengar suara ribut-ribut di luar rumah, kali ini si bapak sedang kusyuk dalam salatnya, tidak dihirau keributan orang-orang di luar sana. Ketaqwaannya terhadap sang Khalik sangat diutamakan. Apalagi dalam salat malam seperti ini, si bapak merasa seakan sedang berhadapan langsung dengan Yang Maha Agung.

Sementara di luar memang benar-benar sedang heboh. Lengkap dengan anggota polisi satu pick up, terasa begitu ramai dengan tangisan seorang wanita. Entah kejadian apa yang sudah terjadi, Fadli juga sempat ikut mendengar, tapi keributan itu sama sekali tidak menarik perhatiannya. Ia sedang asyik dengan tontonan film yang putar stasiun televisi swasta. Hingga seseorang datang mengedor pintu rumahnya.

Awalnya Fadli enggan untuk membuka, namun sebab sudah berulangkali baru terhasrat geraknya. Kaget tentu jadinya, begitu melihat halaman rumahnya sudah cukup ramai dengan orang-orang, apalagi ada polisi di antara keremunan itu.

“Ayah sudah tidur, ya?” tanya orang yang mengerdor pintu.

“Belum, Bang. Tadi baru saja salat,” sahut Fadli sambil mengintip-intip ke balik punggung orang di hadapannya. 

“Salat apa jam segini?”

“Nggak tahu, Bang. Memang salat apa kalau malam-malam?”

“Salat isya, kali, ya?”

“Bukan. Ayah, kan, salat isyanya di masjid,”

“Nah, terus salat apa, dong?”

Kedua manusia tersebut saling berpikir, mereka sama-sama tidak paham soal ibadah. Apalagi yang dikerjakan tengah malam seperti ini. Nasib, entah apa yang akan terjadi dengan generasi setelahnya kelak.

Bandung, 03 Febuari 2014