Rumah Kami

Dari jauh, tiba-tiba teringat suasana rumah. Bangunan sederhana yang berdiri sekitar tahun 1993 itu cukup menyimpan banyak cerita tentang masa-masa kecil kami. Ya kami, para penghuni rumah yang sengaja dibangun ayah dengan keringatnya. Rumah itu berisi sekitar sembilan orang pada dasarnya, ayah, ibu, kakak, aku, dan lima adik-adikku. Lumayan sesak, ada empat lelaki dan lima perempuan.  
Di antara kesembilan itu, sekarang hanya tinggal tiga, atau terkadang dua orang sebagai penghuni tetapnya. Berikut inilah sejarah pertahun menghilangnya satu per satu di antara kami, dari rumah yang tidak pernah lengkap lagi penghuninya itu. Selain menjelang lebaran baru kami berkumpul kembali. Paling satu atau dua minggu lengkap, kemudian hilang lagi. Ada si ini, hilang si itu, datang si anu, pergi yang lain. Pokoknya seperti  sistem shift di supermarket lah.
·         2002 - Aku masuk pondok pesantren, angkat kaki dari rumah, dan mulai hidup jauh dari orang tua. Tinggal di asrama, menjalani hari-hari dengan caraku sendiri, hingga menjadi langganan dengan seribu macam hukumannya.
·         2003 - Adik laki-lakiku (H) yang pertama mengikuti jejak abangnya untuk masuk ke pondok pesantren. Hanya saja ia lebih berprestasi, sering memenangkan MTQ, bahkan menjadi tahfiz pertama dan satu-satunya di keluarga kami. Sayangnya, jiwa sosialnya kurang, bahkan tidak banyak keluarga besar yang dia kenal. 
·         2007 - Kakakku (R) berangkat ke Jogja melanjutkan pendidikannya. Hari-harinya hampir sama sepertiku, aneh, brutal, boros, sok keren sendiri, tapi bedanya dia cengeng dan manja.
·         2008 - Adik perempuanku (L) yang jarang mandi ikut kakaknya ke Jogja untuk melanjutkan pendidikan. Sama juga kasusnya seperti aku dan adik laki-lakiku (H) di pondok pesantren dulu, dia berprestasi bahkan menyelesaikan kuliahnya dengan cepat. Sedangkan kakak kami, sampai sekarang belum juga lulus-lulus. Hahaha :D
·         2010 - Ayah sering bolak balik Aceh- Jakarta, hingga menetap pun di sana. Sebenarnya, tidak juga hanya di Jakarta. Kadang di Kalimantan, Sulawesi hingga Papua pun sempat dijamahnya. Bukan seorang traveler, hanya saja dinasnya yang seperti itu. Dan di tahun yang sama, satu adik perempuanku (S) hijrah ke Medan untuk mencakar karirnya di udara. Ya, ia bekerja di maskapai penerbangan. Tapi aku tidak pernah mendapat tarif promo, makin mahal malah.  
·         2012 - Adik perempuanku (M) yang paling bungsu, cengeng, dan manja, mengikuti jejak dua abangnya (aku dan H), yaitu masuk pondok pesantren.
2013 (Sampai sekarang) - Ayah masih dengan dinasnya keliling Indonesia. Kakakku masih di Jogja yang belum kelar-kelar juga kuliahnya, sedangkan aku terjebak di Daratan Sunda, Bandung. Dari tiga adik perempuanku, mereka juga punya tempat masing-masing di lain kota. (L) Langsa, (S) Medan dan si bungsu (M) di pondok pesantren. Nah, sisanya adalah dua adik laki-lakiku (H dan F) yang menjadi penghuni tetap di sana. Terkadang juga jika ibu bosan di Jakarta, beliau hadir di antara mereka. Ah, semakin rindu saja pada masa-masa kita semua masih di rumah dulu.

Bandung, 04 Febuari 2014

**Sengaja nama mereka tidak aku sebut, hanya sekedar inisialnya dari nama aslinya. Sebab kami punya panggilan unik bagi setiap masing-masing orangnya. 

Posting Komentar

0 Komentar