Pasar yang Hampir Hilang

Pasar yang Hampir Hilang – Esai tentang Pasar Tradisional yang Kian Sepi

Pagi itu, udara masih menggantungkan sisa embun semalam. Jalan menuju pasar becek, licin, dan di beberapa sudut tersisa genangan air yang memantulkan langit kusam. Aroma sayur segar bercampur anyir ikan sungai menyambut langkah pertama saya ke dalam lorong sempit itu. Dari jauh, terdengar suara perempuan setengah berteriak, “Tiga ribu satu ikat…!”

Dulu, lorong ini nyaris tak pernah memberi ruang kosong. Bahu menyentuh bahu, tas belanja beradu, anak-anak berlarian di sela kaki orang dewasa. Hari ini, lorong itu seperti paru-paru yang mengempis: napasnya pendek, langkah orang pun jarang. Kios-kios di kiri-kanan tak semua buka. Ada yang hanya menyisakan papan nama kusam, ada yang meja dagangannya tertutup terpal, menandakan pemiliknya sudah tak kembali.

Saya berhenti di depan lapak seorang ibu tua yang menjual cabai rawit. Di depannya, sebuah timbangan duduk di atas meja kayu, catnya mengelupas. “Sepi, Nak,” ujarnya, sebelum saya sempat menawar. “Sekarang orang ke mal. Atau belanja dari HP. Mana mau mereka ke sini.” Ia tersenyum hambar, lalu menunduk, merapikan cabai-cabai kecil itu, seolah yang ia tata bukan sekadar dagangan, tapi sisa-sisa kesetiaan.

Pasar tradisional selalu punya denyut yang tak ditemukan di ruang belanja lain. Di sini, harga adalah hasil obrolan, bukan sekadar angka di label. Utang masih mungkin dicatat di buku kecil bersampul plastik, tanpa bunga, tanpa denda. Pertemuan di pasar adalah perjumpaan yang lengkap: mata bertemu mata, suara bersahutan, tangan saling menyentuh saat uang berpindah.

Namun denyut itu melemah. Minimarket merangsek sampai ke gang-gang kecil. Mal menawarkan udara dingin, rak rapi, dan lampu putih yang tak pernah redup. Di layar ponsel, segala kebutuhan tinggal satu sentuhan. Pasar kalah bukan karena kehilangan kualitas barangnya, tapi karena kehilangan kesempatan untuk dipilih.

Saya teringat pada data Kementerian Perdagangan yang menyebut jumlah pasar tradisional menurun sekitar tiga persen setiap tahun. Angka itu, bagi sebagian orang, hanya statistik. Bagi pedagang seperti ibu penjual cabai itu, angka itu adalah waktu tunggu sebelum pintu kiosnya benar-benar terkunci.

Pasar adalah ingatan kolektif. Di sinilah anak-anak dulu belajar berhitung dengan koin, belajar menawar, belajar bersabar dalam antrean. Di sinilah kabar tentang tetangga sakit atau panen raya berpindah lebih cepat daripada berita di televisi. Ketika pasar hilang, kita kehilangan lebih dari tempat jual beli: kita kehilangan ruang yang merawat kebersamaan tanpa syarat.

Di sudut pasar, seorang bapak sedang menata keranjang bambu. “Saya di sini sejak tahun 1982,” katanya. “Dulu, mau dorong gerobak saja susah karena orang penuh. Sekarang, suara saya kalah sama suara motor di jalan besar.” Ia menghela napas, lalu melanjutkan, “Tapi saya tetap buka. Kalau tidak, saya bingung mau ke mana.”

Saya berjalan keluar pasar saat matahari mulai naik. Lorong yang tadi saya masuki kembali saya lewati, kini terasa lebih sepi. Di kejauhan, deru motor ojek online berhenti di depan sebuah rumah, mengantarkan belanjaan yang dibungkus rapi dalam plastik bening. Tidak ada aroma sayur, tidak ada sapaan, tidak ada tawa.

Pasar memang belum sepenuhnya hilang. Tapi ia sedang berjalan di tepi jurang, dengan langkah yang kian goyah. Menyelamatkan pasar bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal menjaga denyut kehidupan yang membuat kita merasa terhubung satu sama lain. Karena jika suatu hari nanti pasar itu benar-benar hilang, kita mungkin akan menemukan diri kita berdiri di tengah keramaian, namun merasa lebih sepi daripada sebelumnya.

Posting Komentar

0 Komentar