Sejarah Perbudakan di Nusantara: Dari Masa Kerajaan hingga Kolonial

 

Perbudakan di Nusantara telah berlangsung sejak masa kerajaan hingga kolonial, meninggalkan jejak penderitaan yang masih terasa hingga kini. Inilah kisah kelamnya.

Perbudakan bukanlah luka yang asing bagi Nusantara. Ia sudah ada jauh sebelum kapal-kapal Eropa merapat di pelabuhan kita. Dari istana raja hingga pasar-pasar ramai, dari perang antarkerajaan hingga ekspansi kolonial, perbudakan menjadi bayang-bayang yang mengikuti sejarah negeri ini.

Masa Kerajaan: Budak Sebagai Simbol Kekuasaan

Pada masa kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Sriwijaya, budak sering kali adalah tawanan perang. Mereka dijadikan pelayan di istana, pekerja di ladang, atau pengangkut barang dagangan. Status mereka bukan sekadar pekerja tanpa upah, tapi juga milik pribadi sang majikan — bisa dijual, ditukar, atau diwariskan.

Di beberapa kerajaan, budak bahkan menjadi simbol prestise. Semakin banyak budak yang dimiliki, semakin tinggi pula gengsi sang pemilik. Namun di balik gemerlap istana, ada peluh dan air mata yang tak pernah tercatat di prasasti.

Masa Kolonial: Perdagangan Manusia yang Sistematis

Kedatangan Portugis, VOC Belanda, dan kekuatan kolonial lain mengubah perbudakan menjadi bisnis besar. Budak diperjualbelikan di pasar-pasar pelabuhan seperti Batavia, Makassar, dan Malaka. Mereka datang dari berbagai daerah: orang Bugis yang kalah perang, orang Bali yang dijual karena utang, bahkan orang Maluku yang ditangkap di desa-desa.

Di bawah VOC, budak bekerja di perkebunan, rumah-rumah orang Belanda, atau sebagai buruh angkut di pelabuhan. Perlakuan mereka kejam — hukuman fisik adalah hal biasa, bahkan kematian dianggap risiko yang wajar.

Perlawanan dan Akhir Resmi Perbudakan

Meski ditekan, tak sedikit budak yang melawan. Ada yang kabur ke hutan, ada pula yang bergabung dengan kelompok perlawanan lokal. Beberapa kerajaan dan komunitas adat memberi perlindungan bagi budak pelarian, meski itu berarti memicu konflik dengan VOC.

Secara resmi, perbudakan dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1860. Namun kenyataannya, praktik ini tidak langsung hilang. Sistem kerja paksa seperti Cultuurstelsel dan romusha pada masa pendudukan Jepang hanyalah wajah baru dari perbudakan.

Jejak yang Masih Tertinggal

Hari ini, perbudakan mungkin sudah menjadi istilah sejarah. Namun jejaknya masih terasa dalam bentuk perdagangan manusia, eksploitasi buruh migran, dan pekerja anak. Sejarah mengajarkan bahwa meski rantai besi bisa dilepaskan, rantai yang membelenggu hati dan sistem akan sulit dihapus jika kita membiarkannya.

Perbudakan di Nusantara adalah cermin masa lalu yang pahit. Ia mengingatkan kita bahwa kemakmuran dan kejayaan sering dibangun di atas penderitaan orang lain — dan bahwa kita, di masa kini, memikul tanggung jawab untuk memastikan sejarah itu tidak terulang.

 

Posting Komentar

0 Komentar